5 - Pengkhianatan

528 39 8
                                    

Kepercayaan itu mahal. Sekalinya hancur, maka tidak bisa diperbaiki seperti semula.

- Pelangi Di Malam Hari -


Kelas pagi membuatku malas untuk hadir. Ingin rasanya absen sekali saja. Tetapi, aku ingat Ibu, kasihan dia yang sudah rela berjuang membiayai kuliahku hingga menginjak semester 4 ini. Aku tidak ingin mengecewakan Ibu.

Dosen sedang menerangkan didepan papan tulis. Aku menumpu kedua tangan diatas meja, bosan. Berasa lagi diceramahin sama Kak Dino. Terkecuali, jika dosen yang masih muda, semangat 45 aku memperhatikannya.

Setelah hampir satu jam dosen itu menerangkan, akhirnya dia berhenti juga berbicara dan melangkah keluar kelas. Hal itu merupakan dambaan bagi sebagian mahasiswa.

"Laper nih," kataku sambil memegang perut yang sedari tadi sudah keroncongan. Dern dan Zahira memandangku dengan geleng kepala.

"Yaudah ke kantin fakultas aja," ajak Dern.

Sebenarnya aku masih kesal dengan Dern. Ingin sekali introgasinya. "Hmm," jawabku singkat. Lalu, kami beranjak menuju kantin yang jaraknya tidak jauh dari kelas.

"Kamu mau makan apa?" tanya Dern padaku, setelah tiba di kantin.

"Gue mau bakso ya?" Baru saja aku ingin menjawab, ehh sudah didahului oleh Zahira. Dern berdecak pinggang. "Gue tanya Yasmin, buka lo," kata Dern ketus.

"Ck ... Sekalian sihh."

"Aku samain aja kayak Zah," kataku menyudahi keributan ini.

"Tuhkan wlee." Zahira mengeluarkan ujung lidahnya kearah Dern. Mungkin dalam hatinya bersorak ria karena aku berpihak padanya.

Setelah Dern sudah tidak terlihat dari pandangan, kami segera mencari tempat makan yang nyaman. Lebih tepatnya, aku ingin bercerita pada Zahira tentang Dern yang bersama wanita lain.

"Serius? Wahh gak bener tuh anak," tanggapnya setelah kuceritakan semua apa yang dilihat Chlesea hari itu.

Aku menggeleng pelan. "Tapi belum ada buktinya."

"Chelsea? Dia udah cukup bukti, Yas."

"Aku belum liat sendiri, Zah."

Zahira menyandarkan punggungnya pada kursi. Lalu ia melipat kedua tangannya diatas dada. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.

Tidak lama, Dern datang sambil membawakan nampan yang berisi dua mangkuk bakso dan dua gelas es teh manis. "Kok cuma dua? Kamu nggak makan?" tanyaku heran.

"Tadi aku di telpon Mamah, katanya hari ini ada arisan keluarga. Jadi aku disuruh balik."

"Ohh," jawabku seadanya.

Sejak kapan Mamahnya Dern jadi lebih sering dengan keluarga? Atau mungkin dia memang benar sudah berubah. Aku doakan itu. Tetapi, aku masih merasa kurang yakin dengan alibi Dern.

"Aku pulang dulu ya, bye." Sebelum Dern pergi, dia mengusap pucuk kepalaku. Hingga rambut yang sudah kutata rapih dan benar, menjadi sedikit berantakan.

Aku masih menatap kepergiannya. Benarkah alasannya itu? Kini, cacing diperutku sudah tidak demo lagi. Bahkan nafsu makanku sudah hilang.

Zahira berdiri dari kursinya. Menatapku yang hanya mengaduk-aduk bakso dengan wajah masam. "Mau bukti?" tanyanya. Aku mengernyit tidak paham.

"Lo yakin sama alibinya tadi?"

Sebenarnya aku tidak yakin. Belakang ini, Dern seperti berubah. Kutelpon nomornya selalu sibuk. Pesan yang kukirim pun hanya dibalas singkat. Entahlah, aku belum menemukan jawabannya.

Pelangi di Malam HariWhere stories live. Discover now