25 - Izin Tugas

326 24 0
                                    

Setiap orang mempunyai kesalahan dan berhak mendapatkan ampunan.

- Pelangi di Malam Hari -

Rasa demam di tubuhku sudah menurun. Keadaan cukup membaik untuk pergi kuliah. Namun, Mas Rafa melarangku. Dia sangat khawatir. Aku hanya bisa pasrah jika Mas Rafa melarang.

"Nanti Ibu mau ke sini," ujarnya sambil menuliskan sesuatu di kertas-kertas meja kerjanya.

Aku segera bangkit, ingin menuju dapur. Ibu datang, harus aku sambut dengan masakanku. Wanita paruh baya itu harus melihat perubahan yang terjadi pada putrinya. Aku sudah bisa masak. Dia pasti bangga.

"Mau kemana?" tanya Mas Rafa ketika aku agak kesulitan untuk berdiri.

"Masak. Masa nanti Ibu datang gak ada makanan?"

Mas Rafa menghampiriku. Dia menopang tubuhku agar tidak hilang keseimbangan.

"Kalau masih kurang sehat, jangan di paksa. Saya aja yang masak," protesnya. Dia begitu protektif.

"Yasmin bisa kok. Mas Rafa lanjut kerja aja."

Aku tahu, selama dia tidak masuk kerja kemarin, pasti banyak sekali dokumen yang menumpuk. Terlebih, jabatannya sebagai direktur. Meski Mas Rafa tidak mengatakan semua itu, aku tahu dia lelah. Mengurusku yang sedang sakit, dan mengurus pekerjaan kantor.

"Ya sudah, saya bantu." Mas Rafa akhirnya pasrah. Dia meninggalkan semua kertas-kertas itu demi membantuku di dapur.

🍁🍁🍁

Semua bahan masakan sudah berada di atas meja kompor. Aku ingin memasak bakakak hayam. Makanan khas sunda itu menjadi andalan Ibu. Aku sering melihatnya memasak makanan itu, jadi tidak terlu sulit untuk kulakukan.

Mas Rafa bagian menghaluskan bumbu-bumbu. Sedangkan aku memotong bagian ayam yang agak keras. Ini seperti terbalik. Tapi, ya sudahlah, aku pun bisa memotong ayam sendiri. Tanpa sengaja, pisau mengenai ujung jariku. Hingga mengeluarkan sedikit darah segar.

"Aaww ..." jeritku kesakitan. Mas Rafa refleks mengangkat jariku yang berdarah. Dia meniupnya secara perlahan. Lalu, memasukannya ke dalam mulutnya. Ini seperti adegan di sinetron televisi. Aku ingin berterima kasih kepada Mas Rafa karena telah mewujudkannya. Karena dulu, sempat mempunyai khayalan seperti itu.

"Hati-hati." Dia mengambil tisu dan membungkus jariku.

"Tadi ayamnya keras. Mungkin dia masih belum ikhlas dipotong." celetukku asal.

Mas Rafa melayangkan kepala ayam yang sudah kupisahkan dengan bagian dada. Dia mengangguk-anggukan kepala itu di depanku. "Aku sudah ikhlas kok. Ini kan memang takdirku. Jadi seberapa pahitnya, aku harus terima," ucap Mas Rafa dengan nada dibuat sedemikian rupa.

"Termasuk berpisah dengan teman-temanmu?" tanyaku pada ayam. Ini terlihat gila. Berbicara pada ayam yang jelas-jelas tidak akan jawab. Namun, sebenarnya pertanyaanku tertuju pada si pemegang kepala ayam tersebut.

"Iya. Kita harus percaya takdir-Nya. Setiap pertemuan akan ada perpisahan, kan? Tapi aku perpisahan abadi." Mas Rafa melirikku sebentar, "sebelum perpisahan abadi itu datang, kamu harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Supaya gak terjadi penyesalan."

Aku menjadi bungkam mendengar hal itu.

Melihatku berubah raut wajah, dia meletakan kepala ayam itu kembali pada tempatnya.

Seketika aku memeluk Mas Rafa. Kata-kata itu seolah menjadi tamparanku. Dia benar, aku harus memanfaatkan waktu yang ada, sebelum terlambat.

Mas Rafa mengusap-usap bahuku. "Setiap orang mempunyai kesalahan dan berhak mendapatkan ampunan."

Aku melepaskan pelukannya. Menatap Mas Rafa dengan sendu. "Yasmin punya banyak banget dosa sama Ayah. Apa Allah dan Ayah maafin Yasmin?"

"Allah akan mengampuni dosa setiap hamba-Nya yang mau bertaubat," ucap Mas Rafa sambil menyekat air mataku, "dan untuk Ayah kamu, pasti maafin. Lihat kan gimana ekspresinya waktu kumpul keluarga kemarin? Dia bahagia. Kamu mungkin kurang perhatikan, tapi saya selalu memperhatikannya."

"Iya, Yasmin salah. Nanti Yasmin ke rumah Ayah buat minta maaf."

Mas Rafa mengangkat kedua sudut bibirnya. Dia menarik batang hidungku.

"Nah, gitu dong."

Aku mengalihkan pandangan pada masakan yang belum jadi. Ini di luar skenario. Padahal niat awal memasak, lalu mengapa ada adegan drama di sini?

🍁🍁🍁

Ibu sudah bergabung dengan kami. Wanita paruh baya itu baru saja datang lima menit yang lalu. Tentunya bersama Kak Dino. Kakakku yang satu itu masih saja sama. Belum punya wanita idaman. Padahal, tak jarang tetangga membicarakan dia karena sudah kulangkahin. Kak Dino hanya bergeming. Tak menghiraukan perkataan ibu-ibu tukang gosip.

Mas Rafa dan Kak Dino sedang berbicara santai di kursi dekat kolam renang. Sesekali tertawa bersama. Kulihat, mereka tampak bahagia dengan pembahasannya. Aku mulai penasaran seberapa menarik topik itu sampai membuat Mas Rafa tertawa.

Perlahan aku mendekat ke arah mereka. Mengendap-endap supaya tak ketahuan. Suaranya sedikit terdengar dari balik dinding. Kali ini, pembahasannya cukup serius. Tidak ada tawa lagi di sana.

"Gimana? Lo besok jadi kan ke Kalimantan?" tanya Kak Dino.

Tunggu ... Kalimantan? Mas Rafa belum mengatakan apapun tentang hal itu.

Aku langsung menghampiri mereka. Menatap Mas Rafa tajam. Dia seperti gugup.

"Kenapa Mas Rafa gak bilang ini ke Yasmin?" tanyaku dengan nada sedikit meninggi. Berulang kali aku mengucap istighfar dalam hati. Takut terlewat batas.

Mas Rafa berdiri dari kursi, begitu juga dengan Kak Dino. Kak Dino menatap Mas Rafa dengan terkejut.

"Jadi lo belum cerita ke Yasmin?" tanya Kak Dino. Mendapati hanya gelengan kepala dari teman sekaligus adik iparnya itu, dia pergi begitu saja, meninggalkan aku dan Mas Rafa berdua.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya secara kasar. Mataku menjadi berair. Padahal tidak ada angin kencang di sini. Mendengar dia mau pergi, aku jadi takut sekaligus cemas.

Mas Rafa berusaha meraih tanganku. "Dengerin saya dulu, redamkan amarah kamu."

"Mas Rafa kenapa gak bilang sama Yasmin? Apa Yasmin gak penting di hidup Mas Rafa?" Aku mengulang pertanyaanku tadi. Bukannya redam, justru emosiku bertambah naik. Aku sendiri sulit mengontrolnya.

"Yasmin, saya ada alasan kenapa saya belum bicara sama kamu," Mas Rafa mengacak rambutnya sendiri seperti seorang frustrasi, "kamu lagi sakit. Mana tega saya mengatakan itu?"

Apapun alasannya, seharusnya Mas Rafa katakan. Bukan menyembunyikannya seperti ini.

"Berapa lama?"

"Satu bulan."

Selama itukah? Aku benar-benar tidak siap. Egois. Ya, aku memang egois. Sehari tanpanya pun ada yang beda.

Wajahku sudah banjir dengan air mata. Aku menunduk. Tak sanggup melihatnya. Satu bulan memang bukan waktu yang lama, tapi sama saja. Dia tidak ada bersamaku selama itu.

"Tadinya saya mau reschedule, tapi ini proyek yang penting untuk perusahaan, Yasmin. Saya gak bisa ambil keputusan sepihak begitu aja," jelas Mas Rafa.

Aku mengerti. Ini keputusan yang berat baginya. Mungkin, kalau aku berada di posisinya, aku akan melakukan hal yang sama. Mas Rafa berusaha untuk bertanggung jawab atas tugasnya.

Dia mendekatkan tubuhnya kepadaku. Menenggelamkan wajahku pada dada bidangnya. Aku terisak menangis dalam pelukannya. Walaupun aku belum siap, tapi aku harus terima. Ini bukan tentang masalahku saja, tetapi masih banyak orang yang bekerja di balik perusahaannya.

"Kali ini Yasmin gak akan egois lagi. Itu pekerjaan Mas Rafa, jadi Mas Rafa sendiri yang harus tanggung jawab."

- Pelangi di Malam Hari -

Pelangi di Malam HariWhere stories live. Discover now