30 - Foto dan Surat

301 25 2
                                    

Jangan mudah percaya dengan sesuatu yang kamu sendiri ragu terhadapnya.

- Pelangi di Malam Hari -

Aku berusaha sebisa mungkin untuk menahan amarah setelah mendapatkan kiriman paket yang di lapisi map cokelat. Ada surat dan beberapa foto di sana. Terlihat jelas Mas Rafa sedang merangkul perempuan lain. Perasaanku seolah sedang dipermainkan olehnya. Selama ini dia menganggapku apa? Kemarin ia berkata harus saling percaya. Menjaga hatinya untukku. Kenyataannya? Omong kosong! Mas Rafa benar-benar buatku kecewa.

Bersusah payah aku menahan rindu hampir dua minggu di sini, tapi di sana justru dia sedang asyik dengan perempuan lain. Arghh!!! Lagi-lagi kepercayaanku dibuat hancur. Sejak awal seharusnya tidak main hati dengan pernikahan ini. Tapi apalah daya manusia yang tidak bisa mengontrol hatinya sendiri?

Aku mengambil surat kecil yang berada di belakang foto itu. Lalu membukanya dengan perasaan kesal.

Sudah lihat kan foto-foto itu?
Cuma mengingatkan, selama ini Rafa tidak bahagia dengan istrinya!
Kamu pikir Rafa menjalani pernikahannya dengan senang? Kamu salah. Sama sekali tidak!

Membacanya saja sudah membuatku bertambah sesak. Apa benar Mas Rafa tidak bahagia? Selama ini aku memang sering menyusahkannya, membuat dia kesal karena sifat childishku.

Sejak kemarin, Mas Rafa menghubungiku berulang kali. Sengaja aku tidak menjawabnya, bahkan ponsel pun kumatikan. Dia sudah membuatku mengingat masa lalu. Aku takut. Takut kehilangannya.

Seseorang mengetuk pintu rumahku dengan tergesa-gesa. Aku menghapus cairan bening yang membasahi wajah, secepatnya mendekati pintu. Dari suara ketukannya seperti orang sedang dikejar-kejar. Aku semakin penasaran siapa yang datang.

"Ibu." Setelah kulihat ternyata Ibu yang datang, aku langsung mengajaknya ke ruang tamu.

Ibu tidak boleh tahu permasalahanku dengan Mas Rafa. Selama ini ia hanya tahu aku bahagia dengannya. Padahal, lika-liku salah paham sering terjadi.

"Rafa telpone Ibu kemarin, katanya nomor kamu nggak aktif. Sekalinya aktif, nggak pernah diangkat," ujar Ibu melaporkan segala kecemasan Mas Rafa.

Aku masih terdiam. Belum berani mengatakan apapun dengannya. Ingin sekali mengeluarkan segala bebanku kepada Ibu. Namun, seolah tenggorokan tercekat.

"Kalau kamu butuh teman curhat, Ibu siap kok." Ibu merangkul bahuku. Dia sangat peka terhadap perasaan yang dialami oleh sang anak.

Tanpa sadar, aku menangis sejadi-jadinya di pangkuan Ibu. Dia membuatku menceritakan semua permasalahanku yang terjadi belakangan ini dengan Mas Rafa. Ibu mengelus pucuk kepalaku.

"Setiap rumah tangga pasti mendapatkan ujiannya masing-masing. Apa yang kamu lihat belum tentu benar. Bisa jadi itu nggak sengaja atau ..."

"Tapi itu nyata, Bu." Aku segera menyambar perkataan Ibu. Kudengar Ibu menghembuskan napasnya dengan kasar.

"Kamu tanya baik-baik sama Rafa. Setelah dapat foto itu, kamu belum hubungi Rafa, kan?" Dugaan Ibu benar. Aku sama sekali enggan untuk menghubungi Mas Rafa atau meminta penjelasannya.

Kuangkat kepala dari bahu Ibu, menggeleng tidak setuju dengan sarannya. "Enggak, Bu. Yasmin nggak akan hubungi Mas Rafa. Dia udah jahat sama Yasmin."

Foto itu sudah menjelaskan semuanya. Mas Rafa ternyata sama saja dengan Ayah ataupun Dern. Dia berjanji tidak akan membuatku kecewa, berjanji untuk selalu setia dengan pernikahan ini, dan berjanji di hadapan Allah dalam ikatan suci. Aku ingin teriak sekencang mungkin, ke mana semua janji itu? Laki-laki yang dipegang adalah kata-katanya. Namun, jika kata-katanya saja dia ingkar, lalu bagaimana di sebut sebagai laki-laki?

Aku memejamkan mata sebentar sebelum berbicara dengan Ibu lagi. Wanita paruh baya itu mungkin kesal dengan tindakan putrinya sendiri, karena telah mengabaikan suami. Ibu selalu berpesan kepadaku agar tidak melawan, membatah, atau mendiamkan tanpa alasan tertentu kepada Mas Rafa. Dia tidak ingin masa lalunya akan terulang kembali.

"Bu," panggilku dengan lemas.

"Hmm?"

"Apa selama ini Mas Rafa nggak bahagia sama Yasmin?"

Ibu sepertinya terkejut dengan pertanyaanku. Lagi-lagi dia membuang napasnya gusar. Aku bertanya demikian karena surat itu sendiri yang mengatakannya.

"Kamu kenapa tanya begitu?"

Aku melirik ke arah surat tersebut. Ibu paham, dan mengangguk.

"Jangan mudah percaya dengan sesuatu yang kamu sendiri ragu terhadapnya." Aku mencerna setiap kata yang diucapkannya. Nasihat Ibu membuatku tersadar, bahwa aku tidak boleh mempercayai hal yang aku sendiri belum yakin. Memang benar, setengah hatiku masih percaya pada Mas Rafa. Dan setengah lagi, aku kecewa karena perbuatannya.

"Apa Ibu masih percaya sama Ayah, setelah tahu kalau Ayah selingkuh?"

Ada rasa tidak enak hati bertanya seperti itu. Ibu menunduk sebentar, mungkin dia sedang mempersiapkan jawaban yang bisa membuatku tidak mengambil keputusan yang sama dengannya dulu.

"Percaya dengan seseorang yang sudah menghancurkan kepercayaan kita itu memang sulit, Yasmin. Tapi Ibu berusaha keras buat terima semua yang terjadi. Demi kamu, demi Kakak kamu." Ibu mengeluarkan air matanya saat mengucapkan itu. Lukanya mungkin terbuka kembali. Mengingat betapa sayangnya Ibu kepada Ayah sebelum perselingkuhan itu terjadi.

Aku kembali memeluk Ibu. Pengorbanannya untuk keluarga belum ada apa-apanya dengan pengorbananku. Ibu mengelus pucuk kepalaku dengan perlahan.

Ibu menangkup wajahku dengan kedua tangannya. "Coba kamu inget-inget lagi kenangan saat pertama kali bertemu dengan Rafa," sarannya. Namun, berhasil membuatku memutar kembali memori itu.

Saat perkenalan kita, saat Mas Rafa menolongku dari segerombolan laki-laki tua, saat mendengarkan lantunan Ayat-Ayat Suci-Nya. Itu semua berputar otomatis dalam memori. Tidak akan pernah terlupakan. Mungkin, Mas Rafa yang melupakannya, sampai setega itu denganku.

"Gimana? Apa semua itu menutup satu kesalahan yang mungkin nggak sengaja Rafa perbuat?"

"Yasmin harus apa, Bu?" Aku benar-benar bingung dengan diriku sendiri. Foto-foto dan surat itu masih gentayangan dalam pikiranku.

"Kamu telpon atau sekadar kirim pesan ke Rafa, bilang sama dia kalau kamu baik-baik aja di sini. Biar suami kamu nggak khawatir, Yasmin."

Aku menuruti perkataan Ibu. Mengambil ponsel yang terletak di atas nakas. Lalu, menyalakan ponsel itu setelah lama tidak aktif. Ternyata benar, ada banyak panggilan masuk dan pesan dari Mas Rafa. Kuketikan sesuatu yang diperintahkan Ibu.

To Mas Rafa :

Mas Rafa nggak perlu khawatir sama Yasmin, di sini Yasmin baik-baik aja kok. Mas Rafa jangan lupa jaga kesehatan di sana.

Setelah mengirim pesan itu, aku langsung mematikan ponsel. Entah sampai kapan aku akan menghidupkan kembali ponsel itu.

- Pelangi di Malam Hari -

Pelangi di Malam HariWhere stories live. Discover now