Manik redup tak lepas pandang dari pigura hidup di hadapan. Berkacak pinggang ditemani pikiran yang melanglang buana tak tentu arah dan tujuan.

Ciko hanya... masih belum percaya.

Dirinya? Sudah bebas dari jeratan?

Serasa... mimpi.

"Ciko...."

Lirih suara halus yang begitu dirindu tiap malam memaksa jiwa Ciko kembali ke asalnya. Mendapati wanita dengan lekuk wajah familiar namun guratan pertanda usia sebagai penghias yang begitu asing.

"Papa sudah beli banyak makanan. Ayo makan?"

"Iya, Ma."

Kaki putih berbetis sekal hasil tempuhan berpuluh kilometer dibawa menusuri lantai dingin apartemen asing. Terperangah saat disambut jajaran makanan di atas meja ruang tamu.

Merasa dejavu. Seperti di alun-alun tadi.

"Ma... ini banyak sekali...."

Diikuti isak halus tertahan yang akhirnya mengudara. Lantas Ciko merengkuh Mama erat, di hadapan Papa yang menunduk dengan bahu bergetar dan isakan serupa.

"Maafin Mama, Ciko. Maaf...."

Dengan telaten Ciko mengelus punggung Mama yang terasa pas di rengkuhannya. Baru sadar, kini ia sudah lebih tinggi dari Mama. Dulu ia hanya setinggi bahu Mama.

"Maaf...."

Dan hanya kata itu yang menjadi ajeg. Bermenit-menit di posisi seperti itu. Sungguh syahdu nan pilu.

"Maafkan Mama dan Papa. Padahal kami sudah tahu kamu diperlakukan seperti itu tapi Mama tetap egois meninggalkan kamu di sini. Mama mohon maaf sebesar-besarnya Ciko."

Usapan terhenti seketika. Jantung Ciko rasanya berhenti bekerja untuk beberapa sekon. "A-apa?"

"Mama tahu Xiaojun yang mendorong kamu ke kolam renang, bukan Babysitter. Mama tahu kamu disundut rokok sama Tante. Mama tahu, Ciko."

"T-tapi kenapa...."

Napas Ciko menggebu. Amarah dan kecewa seketika membuncah ruah. Ciko merasa ditipu.

"Maafkan Mama, Ciko. Mama mohon maaf sebanyak-banyaknya." Mama sudah beralih berlutut di depan kaki Ciko. "Hanya dia yang bisa Mama percayai. Mama yakin Tante kamu nggak akan berlebihan mencelakakan kamu. Sedangkan kalau saingan bisnis kita tahu, nyawa kamu bisa terancam. Mama hanya takut kehilangan kamu."

"Kamu anak satu-satunya kami. Papa Mama hanya nggak mau kamu kenapa-napa. Memang salah kami nggak berpikir jernih sebelumnya. Maaf...," mohon Papa yang juga sudah bertekuk lutut di hadapan.

Ciko mengulum bibir tak percaya. Berkali-kali menarik napas guna memperlapang dada menerima realitanya. Sesak, jangan ditanya.

"Kami mohon maaf...."

"Nggak apa. Ciko maklum." Menekuk lutut mensejajarkan posisi. "Ciko hanya... kecewa."

"Wajar nak. Wajar sekali kamu kecewa. Maafkan Mama."

Ciko mengangguk kencang di dalam dekapan erat Mama dan Papa. Berbagi tangis haru atas pertemuan yang dinanti-nanti setelah sekian tahun lamanya.

"Kamu sampai kurus begini...," lirih Mama mengelus rahang Ciko yang begitu menonjol. "Yuk, Ciko harus makan."

"Iyaa."

Ciko bersantap dengan lahap. Walau masih agak kenyang karena traktiran Raanan, sebisa mungkin ia menghabiskan pesanan orang tuanya. Mengapresiasi dan mengabadikan makan malam pertama bersama keluarga utuhnya.

youth | nct dream ✔Where stories live. Discover now