13. Masa Lalu

1.8K 306 286
                                    

Hola semua, kita ketemu lagi. Aku nggak jadi update besok ternyata wkwkwkw

Maaf ya, updatenya telah banget. Tapi sebagai gantinya, ini adalah part terpanjang yang pernah aku buat.

Semoga kalian suka dan feelnya dapat, ya. Aku bikinnya berhari-hari soalnya.

Udah siap buat spam komen kan? Sini, kasih emot dulu 😙

Kalau ada typo mention aja. Selamat membaca!!!

_______________________________

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

_______________________________

Setelah lantunan doa dibacakan, satu per satu, orang-orang meninggalkan makam Ayah. Wangi bunga mawar dan tanah basah menyerbak di sekitar makam Ayah, tepat di samping makam Bunda. Mataku tidak hentinya menatap nisan yang bertuliskan nama Ayah dan Bunda. Pada akhirnya, masa ini tiba. Aku harus kembali ditinggalkan orang yang aku sayang.

Rasanya aku ingin meraung dengan keras, meluapkan segala rasa sakit dan sesak yang aku rasakan. Tapi aku tidak bisa, itu percuma, tidak ada yang akan kembali. Aku hanya menangis dalam diam. Mengingat memori hangat yang pernah tercipta.

Usapan lembut dari Umi membuatku mengukir senyum tipis. Sekarang, hanya Umi dan Abah sosok orang tua kedua yang aku punya. Setidaknya aku harus bersyukur karena masih memiliki mereka. Kecupan sayang dan bisikan doa di puncak kepalaku Abah berikan sebelum keduanya pamit untuk diri. Mereka sudah meninggalkan anak-anak panti terlalu lama. Aku hanya menggangguk dan tersenyum maklum.

"Ily, ayo pulang," ajak Irma. Desi dan Faiza berdiri di samping kiriku. Mata mereka pun sama sembabnya. Setelah mendengar kabar kepergian Ayah, Desi dan Faiza langsung terbang ke Jakarta. Mereka menemaniku sepanjang malam sampai pemakaman Ayah selesai. Menguatkanku dengan dekapan mereka.

"Kalian duluan aja, aku masih mau di sini."

"Ily, tapi--"

Aku langsung menyela ucapan Desi, "aku janji tidak akan macam-macam. Aku hanya ingin menikmati sisa waktu ini sebelum pulang."

Ketiga sahabatku hanya tersenyum, mereka berlalu dan berkata akan menungguku di parkiran. Terisa aku, Bang Reno dan Pak Satya. Bang Reno masih setia duduk di samping makam Bunda. Menatap kedua nisan nanar, sama sepertiku. Dari sorot matanya saja, aku bisa merasakan apa yang Bang Reno rasakan. Kami sama-sama terluka dan kehilangan.

Aku menoleh ke arah Pak Satya yang ada di sampingku. Menatapnya dengan senyuman kecil. "Pak Satya boleh pulang, saya masih mau di sini. Nanti biar saya pulang sama Irma dan lainnya. Terima kasih untuk bantuannya," kataku. Sejak pagi Pak Satya sudah ada di rumahku. Ikut membantu mengurus pemakaman Ayah. Bahkan, Pak Satya turut andil memikul keranda Ayah dengan Bang Reno. Pak Dirgantara dan Bu Ambar juga datang, hanya saja, mereka tidak bisa tinggal terlalu lama.

Bukannya pergi seperti permintaanku, Pak Satya ikut bergabung duduk berjongkok di sampingku. "Tidak apa, saya temani kamu. Kamu boleh ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Saya akan tetap di sini," balasnya. Bibirnya mengusung senyum tenang.

ReasonWhere stories live. Discover now