Ku langgar janjiku

115 85 13
                                    

Sepertinya Dira akan marah ketika tau aku menemui Dhani sendirian, apalagi Dhani menamparku kemarin .

"Rinjani, sarapan dulu." Ibu masuk membawakanku roti bakar dan susu

"Bu." tangisanku tak bisa terbendung membuatku menangis dipelukan Ibu

"Kenapa Jani?" Tanya Ibu, alisnya berkerut bingung. Melihatku tiba-tiba menangis.

"Dhani menamparku Bu."

"Kapan!" Seru Ibu

"Semalam, aku kerumahnya bu . Dhani penyebab Dira masuk rumah sakit." kuusap air mata dan Ibu menatapku, menggenggam tanganku untuk menguatkan hati dan perasaan yang benar-benar sudah hancur.

"Kamu mau terus terusan begini Jani?"

"Maksud Ibu?" Tanyaku, ku kerutkan alis karena bingung dengan ucapan Ibu.

"Pilih salah satu Rinjani." Ibu mengingatkanku memilih antara Dhani dan Dira. Sepertinya akan ada karma nantinya, ketika aku serakah dengan dua hubungan sekaligus.

"Baik bu, nanti Rinjani pikirkan lagi,"ucapku tertunduk menyembunyikan mata sembabku

"Yasudah, sarapan dulu. Besok sudah masuk sekolah."

"Iya bu, terimakasih." Senyumku benar-benar menyamarkan luka saat itu.

Siang menampakan matahari terik. menyengat panasnya walaupun masih musim hujan .
Duduk diteras memikirkan keadaan Dira saat itu. Saat jiwa mulai berkecamuk dengan rasa kesal dan sesal.

"Assalmualaikum." lamunanku terhenti, saat aku melihat sosoknya berdiri di balik pagar.

"Wallaikumsallam, Dira!" Kubukakan pintu pagar untuk Dira

"Sudah ngga usah!" Raut wajahnya tertekuk, ia menyembunyikan marah di balik tangan yang menggenggam.

"Ada apa?"tatapku, ku genggam tanganya. Tapi, ia menepis kasar jemariku.

"Kemarin kemana!" Tanya Dira ketus, nafasnya panas seperti habis memakan cabai sekilo.

"Ann-u, kemarin kerumah saudara." Wajahku tertunduk, tanpa berani menatap matanya yang marah.

" JANGAN BOHONG!" Seru laki-laki itu. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus.

"Aku ngga bohong!"

"Oh .. rumah saudara mu di jl. Kananga. Bertetangga dengan Dhani?" Nada Dira mulai meninggi, bola matanya melirik tajam ke arahku.

"Iya."

"Ibu mana. Biar ku tanya ibu!"Dira mencoba menerobos masuk tapi kuhalangi dengan tangan menutupi pintu, sampai Ibu keluar dari rumah dengan raut bingung melihatku.

"Dira, sudah sembuh?" Tanya ibu senang melihat Dira berdiri sehat di depan nya.

"Sudah Bu,"ucapnya, sembari ia mencium punggung tangan Ibu.

"Kenapa ngga masuk?"

"Disini saja bu, oh ya bu apa ibu punya saudara yang tinggal di jl. Kenanga?" Pertanyaan laki-laki itu sama halnya seperti ulangan matematika. Mendebarkan!

"Hmm sepertinya ngga ada." jawaban Ibu langsung merubah raut mukanya. Tanganya lagi-lagi mengepal, menyembunyikan amarahnya di genggaman itu.

"Dira pamit ya Bu." Dira bergegas pergi setelah mencium tangan ibu, meninggalkanku dengan wajah panik.

"Dira!" Meskipun aku berteriak dengan toak masjid sekalipun. Ia tetap pergi meninggalkanku. Akhirnya, ku biarkan dia marah seperti itu.

Aku bergegas masuk kerumah, membersihkan badan berniat kerumah Dira untuk minta maaf. Karena, aku tau sudah melanggar janjiku untuk tidak menemui Dhani.

Tentang Rasa  Where stories live. Discover now