biru membekas menghilangkan rasa

194 128 59
                                    

Keesokan harinya ..
Aku bangun seperti biasanya.
Turun dari tempat tidur tetapi kepala terasa sangat sakit. Aku mengeluh kepada ibu, wanita bernama Rossa Amelia Zhafira yang paham akan apa yang kurasa .

"Ibu, kenapa kepalaku sakit? " Suaraku terbata bata menahan nyeri

Ibu terlihat sangat khawatir, melihat memar biru itu semakin besar menguasai dahiku.

"Ini memarnya semakin besar loh."

"Sakit sekali bu," eluhku, ternyata semakin membuat Ibu cemas. Ibu berjalan kedapur mengambilkanku sebaskom es batu untuk mengompres memarku.

"Sebentar Ibu telfon Dhani agar mengantarkan kita ke klinik."

"Buat apa bu? Dhani yang membuatku begini." Gerutuku sambil memegang kain berisi es batu, lalu ku letakkan di dahiku yang memar.

"Lupa ibu...." yasudah telfon Dira aja

"Jangan bu!!" Kataku seketika. Mengingat Dira yang sedang kesal denganku.

"Bu, aku coba tidur aja ya." Wajahku mulai pucat dengan mata seperti panda. Hitam melingkar di bawahnya.

"Ngga mau ke klinik? "tanya Ibu memastikan jika aku masih baik-baik saja.

"Aku ngga apa-apa bu."kakiku beranjak sedikit sempoyongan menuju kamar untuk merebahkan badan.

Dikamar hanya terdengar suara baling-baling kipas, sunyi seperti hatiku.
Aku hanya tidur menatap langit-langit kamar yang sudah mulai pudar cat putihnya.

Ku coba memejamkan mata sebentar untuk merehatkan perasaan yang sudah tidak singkron dengan pikiranku. Lalu, tanpa sadar tertidur pulas untuk berberapa menit dan membuatku terbangun dengan rasa sakit di kepala yang semakin menjadi.

"Buuu...." panggilku dari dalam kamar.

"Iya." Ibu menjawab dari balik pintu kamarku yang sedikit terbuka.

"Kepalaku bu, sakit sekali." Aku mencoba menompang badanku untuk tetap kuat duduk di ujung kasur.

"Ayo ke KLINIK!" Seru Ibu dengan nada meninggi, aku hanya mengangguk untuk menjawab ajakan Ibu.

Hingga akhirnya taxi yang ku naiki berhenti di depan klinik yang tak terlalu besar. Hanya ada satu mobil ambulance yang sudah usang, Sepertinya, klinik ini sudah berumur dan terlihat bangunan tampak tua. Ku lihat sekeliling dan mencoba berjalan tertatih menuju ruang tunggu. sedangkan Ibu mendaftar di ruang regristasi tepat di depan klinik.

Aku dan Rani duduk disudut ruangan leter L sambil melihat tontonan televisi yang menyala satu-satunya diruang tunggu klinik.

"Assalamualaikum dok." sapa ku dan Ibu

"Walikumsallam, silahkan duduk. keluhanya apa bu?" Tanya laki-laki berkacamata yang memakai jas berwarna putih itu.

"Kepala saya sakit dok," ucapku, dengan menunjukan dahi yang memar.

"Ini kenapa? " Tanya dokter memegang luka ku

"Jatuh dok." Jawabku sedikit terbata bata

"Jatuh kok bisa memar begini? Ini ada pendarahan dalam, tidak mungkin hanya jatuh!" Serunya, dengan alis berkerut ke atas dan tangan memeriksa keningku yang biru.

"Kenapa baru dibawa kesini?" Pertanyaan dokter semakin membuat nyeri datang. Tiba-tiba mataku terpejam karena rasa sakit yang sudah tak tertahan lagi. lalu ku dengar dokter memanggil ibuku, suara ibu yang samar-samar terdengar khawatir.

"Anak saya kenapa dok? " Tanya ibu terlihat pucat.

"Anak ibu ada pendarahan di bagian kepala depan bu, apa benar hanya jatuh saja ? Kasus seperti ini biasanya terkena benda tumpul." Dokter menjelaskan semua keadaanku. Sedangkan, ibu hanya terdiam mendengarkan semua ucapan dokter.

Tentang Rasa  Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin