pertengkaran besarku dengan Dira

131 87 34
                                    

"pagiii," sapaku dengan bibir melengkung, lalu menghampiri Ibu di meja makan

"Kesambet apa kak, daritadi senyum-senyum sendiri." Sindir Rani melihat aneh tungkahku di pagi hari.

"Tadi malam Dira telfon, tapi kamu sudah tidur." ibu menuangkan coklat hangat kesukaanku kedalam cangkir bening di sebelah piring roti isi.

"Terus Dira bilang apa bu?" Tatapku antusias ke arah Ibu, sedangkan bibirku tak berhenti mengunyah roti isi yang tinggal setengah.

"Hari ini, dia mau ngajak kamu naik kereta katanya. Tapi Dira ngga bilang mau kemana."

"Naik kereta?"aku hanya mengerutkan alis, berusaha mencerna perkataan Ibu.

"Jangan-jangan naik kereta kelinci kak."goda Rani menahan tawa.

"Aappan sih, yaudah bu aku mandi dulu."langkahku bergegas menuju kamar mandi. Dengan handuk di pundak dan pasta gigi di tangan. Pikiranku terus berputar saat ingin tau Dira akan mengajakku ke suatu tempat dengan kereta.

Jam 09.00 pagi ..

Asslamualikum " sapa Dira dari balik pintu

"Walakumslaam " jawabku berlari dengan pakaian rapi, parfum sudah tercium semerbak menempel di baju yang ku kenakan. Membukakan pintu untuk laki laki yang hanya satu di semesta.

"Mau kemana?" Tatapnya, ia memperhatikanku dari rambut hingga sepatu flat yang ku kenakan.

"Kata Ibu, kamu mau ngajak aku naik kereta,"ucapku

"Iya, sudah siap?"

"Udaah dong."

"Pamit ibu dulu ya."

"Buuu... Kita pamit pergi dulu ya," kataku sedikit berteriak dari ambang pintu rumah

"Eh ngga sopan sama ibu kok teriak-teriak ngomongnya." Dira menyindirku balik karena kemarin aku marahi dia pamit dengan ibu sambil berteriak

"Iyaa, hati-hati." jawab ibu dari ruang makan, membiarkanku pergi tanpa ikut ke pintu gerbang seperti biasanya.

Bau embun pagi itu tercium berbeda dengan hari hari kemarin, air menggenang di tanah yang basah lalu menjadi lumpur membuatku harus memilih pijakan kaki yang tepat .

"Udah ngga marah lagi?" Tanyanya, ia memakaikan helm di kepalaku dan manik matanya terus menatapku sembari tersenyum

"Siapa yang marah,"ucapku membalas senyuman Dira dan segera naik ke atas motor.

Motor Dira melesat menuju stasiun kota. Membuatku senyum-senyum sendiri, membayangkan kesenangan apa lagi yang akan aku alami hari itu. Hingga saat tubuhku tiba di stasiun kota dengan arsitektur jaman belanda, aku dan dia segera turun lalu mengantri membeli tiket diloket pembelian. Dira benar-benar mengajakku pergi dengan kereta, alat trasportasi yang terakhir kali ku naiki saat aku masih duduk di bangku SMP bersama Ibu ketika menyambangi bibi yang tinggal di Jogja.

"Kita mau kemana?" Tanyaku penasaran.

"Sudah ikut aja." senyumnya, lalu berjalan menuju ruang tunggu dan mencari kursi untuk menunggu kereta datang, aku duduk disamping Dira. Ia hanya memandang rel kosong, tangannya hanya menggenggam kotak rokok yang tak berani ia sulut.

"Jangan ngelamun," ucapku membuat ia memandangku dengan tatapan nanar.

"Siapa yang melamun," peliknya

"Terus appan. Tidur ? "Senyum sinisku keluar, kakiku berjalan menyusuri aspal yang berbatu. Disekitar Rel kereta seperti anak kecil yang tak sabar menunggu kereta nya datang.

Tentang Rasa  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang