Hancurnya sebuah Rasa

238 135 63
                                    

Hari itu panas. Hatiku juga semakin gusar melihat Dhani bersama gadis lain selain aku.
Aku pikir tak apa, jika aku juga bersama Dira.
Tapi, perasaan ini terus-menerus menyesakkan dadaku, Aku ingin sekali marah, memakinya bahkan ingin menjauh dari kehidupan Dhani. Tapi, terasa berat meninggalkannya. Hanya karena aku cemburu dengan teman perempuannya itu.

Aku duduk sembari memikirkannya. Bangku teras terasa nyaman saat rasa kesal yang menggebu-gebu, membuat Ibu datang dengan coklat yang ia bawa di cangkir kesukaanku.

"Terimakasih bu, Ibu paling tau apa yang Rinjani ingin."Ku kecup pipinya. Ibu hanya membalasku dengan usapan sayang di kepala.

"Jangan lama-lama diluar ya. Angin," ucapnya sembari beranjak masuk kedalam rumah. Meninggalkanku yang hanya terdiam melihat debu berterbangan, daun kering dan ranting yang berlomba-lomba jatuh seketika. Lamunan tiba-tiba buyar begitu melihat Dira sudah ada di depan mata.

"Hati-hati nanti kesurupan, ngelamun apa!"
Serunya, aku hanya membalasnya dengan bibir menyeringai.

Dira datang dan tiba tiba menggeserku keujung kursi membuatku memasang wajah kesal di pagi hari yang cerah.

"Dhani,"ucapku terisak dengan punggung tangan menyeka air mata, tiba-tiba aku ingin mengadukan laki-laki itu kepada Dira.

"Kenapa Dhani?"Tanya nya dengan muka penasaran, ia menatap lekat wajahku, seakan tau apa yang Dhani lakukan.

"Ia pergi dengan gadis lain, sepertinya dia sangat suka dengan gadis itu." Tangisku semakin menjadi membuat Dira memeluk Tubuh mungilku. Ia mencoba menenangkanku setelah melihat air mata yang jatuh semakin banyak. Jemarinya menepuk pelan pundakku bahkan ia tak berucap sepatah katapun.

Aku merasakan ketenangan seketika, hingga membalas peluknya dengan sangat erat.
Tak hentinya aku menangis dibahunya. Dira, ia hanya membiarkanku saat tau hatiku benar-benar kesal dengan Dhani.

lama ku memeluknya. Sehingga aku tak sadar kehadiran Dhani yang sejak tadi berdiri didepan pintu pagar rumah. Melihat adegan romantisku dengan wajah yang begitu marah. Membuatku seketika melepaskan pelukan Dira dan segera mengejar Dhani yang pergi begitu saja.

"Dhan tunggu!" ku tarik tangannya. Wajahnya marah dengan nafas yang menderu. Membuat ia menyentak tubuhku ke tanah. Seakan tidak ada rasa iba. Hatinya dipenuhi dengan kemarahan, ia hanya pergi begitu saja. Meninggalkanku yang masih tergeletak di aspal depan rumah.

Dan "brruuukkk" Tiba-tiba Dira datang dari belakang. Mengejar Dhani dan langsung memukul pelipis mata kanannya. Membuat mereka terlibat pertengkaran antara lelaki. Taukan, jika laki-laki berseteru bagaimana?

Bahkan, saat aku berusaha melerai keduanya, tubuhku berada di antara dua laki-laki itu. Membuat kening kananku terkena hantaman tangan Dhani. Lalu, aku terjatuh dan terbentur aspal berkrikil.
Seketika membuat wajah mereka berubah panik, Dira datang menggendong tubuhku masuk ke dalam rumah. Membuat Ibu berlari menghampiriku dengan  kedua manik mata  menatap marah ke arah Dira dan Dhani.

"Rinjani, aku minta maaf." Dhani yang terlihat khawatir dan bersalah terus-menerus membangunkan ku dengan tangan yang bergetar.

"Semua gara-gara kamu!" Seru Dira, ia menyalahkan Dhani atas apa yang terjadi kepadaku saat itu.

"Sebetulnya ada apa?Kenapa Rinjani bisa sampai memar begini?" Tanya Ibu bingung melihat wajah mereka. Sedangkan, Tangan Ibu tak berhenti bergantian mengompres dahiku yang biru dengan es batu yang di balut kain putih.

"Mereka berkelahi bu, aku berusaha merelainya,"ucapku bangkit dari sofa, menatap kesal ke arah dua laki-laki di hadapanku.

"Maaf, aku ngga sengaja ...." Ia menurunkan alis ke bawah, memohon sembari menatap wajahku. Seakan ia ingin aku iba kepadanya.

Tentang Rasa  Where stories live. Discover now