Rumah sakit

249 147 84
                                    

Suara sirene memecah heningnya malam dikompleks tempat tinggalku.
Ibu terlihat khawatir karena berusaha membangunkanku berkali-kali. Sayu tapi ku dengar Ibu terus menyuruhku untuk bangun.

"Nak bangun."Suara itu terus terdengar di gendang telingaku, lalu ku coba membuka mata perlahan agar ibu tidak khawatir lagi.

"Bu."Suaraku membuat wajah ibu tersenyum lega. Lalu, ku pejamkan kembali kelopak mata yang berat untuk terbuka.

Akhirnya, mobil pun terparkir di depan loby IGD. Berberapa perawat memindahkanku ketempat tidur di ruang itu, tak banyak pasien yang berkunjung di Ruangan kecil sebuah klinik.
Aku, hanya terbaring lemas dengan jarum infus terpasang menembus urat nadi di punggung tangan kanan.

Saat jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tiba-tiba terdengar suara riuh diluar. Kudengar suara yang tak asing itu, sehingga kukuatkan tubuhku bangkit dari tempat tidurku, kulihat Dira dan Dhani yang sedang berseteru. Entah, apa yang sedang mereka ributkan.

"elu ngapain kesini?"suara Dhani bergema dari sudut lorong

"Gw cuma mau tau keadaan Jani!"Jawab laki-laki itu terlihat khawatir, sedangkan tubuhnya berusaha menerobos masuk ke dalam ruangan dan mendorong keras tangan Dhani yang menghalangi pintu .

"Cukup. Ini rumah sakit, kalian ngga malu apa dilihatin orang!" Suara lantangku menggema. Untung hanya ada tiga pasien di ruangan itu. Membuatku duduk perlahan.

Dira dan Dhani melihatku. Berjalan kearahku beriringan, lalu memegang tanganku secara bersamaan.

"Ngapain lu pegang-pegang tangan Jani!" Serunya kesal. Wajahnya mengerut tak suka, bahkan matanya meruncing tajam ke arah Dira.

"Sory." Dira memberi jarak antara aku dan dia. Ia hanya menatapku dari tempatnya berdiri, tepat bersandar di daun pintu UGD.

"Kamu ngga apa-apa kan?" Tanya Dhani terlihat khawatir

"Ngga apa-apa kok, aku cuma kecapekan aja mungkin habis kena hujan tadi,"ucapku hanya ingin memberhentikan rasa gelisah semua orang .

"Pasti gara-gara aku mengajakmu hujan-hujanan tadi, Maafkan aku." Tatapan Dhani membuatku iba. Ia pandai mengambil hati perempuan lemah sepertiku. Sesaat, ku lihat Dira hanya tertawa dari sudut sana. Mungkin, ia menertetawakan aku'si gadis lemah' yang telah luluh hanya dengan satu tatapan mata saja.

"Ngga, bukan karena kamu." Tanganku meraba pipi lembut Dhani.

Dira Bersandar di daun pintu kamar, namun pintu tiba-tiba terbuka karena ibu masuk, sontak  tubuh Dira terjatuh kearah belakang. Membuat yang melihatnya tak bisa menahan tawa.

"Duh maaf Dira, ibu ngga tau ada kamu." Ibu masuk dengan bibir terkunci dan menatap laki-laki yang sudah berbaring di lantai. Menatap ibu dengan iba.

"Mangkanya kamu jangan di pintu, jodohmu jauh nanti," ucapku tak berhenti tertawa melihat tingkah konyol nya.

"Udah mendingan?" Ibu datang dengan selimut di tangannya.

"Udah Bu," jawabku tersenyum.

"Alhamdulillah." Wajah Ibu terlihat lebih tenang saat tau aku baik-baik saja.

"Sayang, kamu ngga pulang? Biar Ibu saja yang menjagaku." Pintaku ke Dhani.

"Terus Dira?" Ucapnya dengan telunjuknya mengarah ke tubuh Dira yang sedang berdiri di samping pintu.

"Dia juga pulang."

"Iyadeh, aku pulang " Dira berjalan lesu, menyeret kedua kakinya dan berjalan ke arah Ibu.

"Bu. Dira pamit." Ia mengecup punggung tangan Ibu, lalu menatapku sebentar dan pergi.

"Cie yang ngambekk." Ejekku sedikit berteriak setelah melihat Dira meninggalkan ruangan jauh di depan pintu.

Tentang Rasa  Donde viven las historias. Descúbrelo ahora