Dira, yang katanya calon mantu Ibu

129 96 32
                                    

Aku hanya menyandarkan kepalanya di pangkuan. melihat wajah pucat nya dan mencoba mengguncang tubuh laki-laki yang masih saja tak sadarkan diri.

"Dir, bangun dong!" Pintaku dengan netra berkaca-kaca. Sedangkan, Ia hanya terdiam, badannya semakin dingin. Lalu, ibu mengambilkan baju bekas ayah dikamar dan aku berusaha menggantikan pakaian Dira yang basah dengan baju kering.

"Mangkanya, kalau marah jangan keterlaluan!" Seru Ibu kesal.

"Iya Bu, maaf." Aku hanya menunduk karena merasa bersalah membuat Dira kehujanan.

"Aku ambilkan teh hangat ya kak," ucap Rani beranjak ke dapur mengambil secangkir teh hangat. Sedangkan, aku berusaha menghangatkan tangan Dira dengan cara menggosokkan minyak kayu putih di sela-sela jemarinya.

"Dir, please bangun. Maafin aku!" Seruku yang berulang kali mencoba membangunkanya.

Dira hanya menatapku dengan tawa kecilnya, ia menghiraukan aku yang khawatir dengannya. Bahkan, saat laki-laki itu tak membuka matanya. Aku hanya bisa menangis, meratapi sikapku yang egois.

"Hahaha—" tawa itu keluar dibalik heningnya suasana, sontak membuatku berdiri tanpa aba-aba. Seketika, kepalanya terbentur lantai.

"Dira!"seruku kesal, merasa diperamainkan olehnya.

"Kenapa?" Tatapnya

"Kamu .... " Kata-kataku terputus.

"Aku, jatuh beneran tau!" Sambungnya.

"Bohong!"gertakku.

"Bu," ucap laki-laki itu, dengan tatapan memelasnya. Ia mencari perlindungan ke Ibu agar bisa terlepas dari amarahku.

"Apa paduliku!" Ku palingkan wajah menggerutu, duduk kembali di sofa ruang tamu dengan dua tangan terlipat di depan dada.

"Terus, kenapa kamu menangis?" Ia bertanya dengan mata menggodaku dan menyudutkanku di ujung sofa.

Ibu dan Rani hanya tersenyum melihat tingkah kami ber'dua. Seperti anak kecil yang bertengkar hanya karena siapa yang salah dan siapa yang harus minta maaf.

"Kamu laper Dir?" Tanya Ibu

"Iya bu, Dira belum makan." Senyumnya malu-malu

"Sini, makan sama ibu,"ucap Ibu menawarkan sebungkus nasi padang yang dipegangnya.

"Tapi bu, ini cuma satu bungkus,"ucapnya menatap bungkusan nasi yang sudah terbuka.

"Sini Ibu suapin."

Tanpa malu-malu Dira beranjak ke meja makan, duduk disamping ibu memasang wajah seperti anak laki-laki kecil yang menunggu suapan dari Ibu nya.

"Maafkan Rinjani ya," ucapnya, tangan rapuhnya membelai wajah tampan Dira seperti anaknya sendiri.

"Iya Bu, karena Ibu. Dira pasti maafin Rinjani." Ia menatapku dari meja makan, tatapan tajam itu seakan tak biasa.

"Kamu anak baik, jaga selalu Rinjani ya."pinta Ibu dengan senyuman melengkung ke arahnya.

"Pasti bu, Dira akan jaga anak Ibu. " senyumnya

"Syukurlah, terima kasih Dira," ucap Ibu sembari mengusap kepalanya lalu senyum lega muncul dari bibir perempuan yang kucintai itu.

"Tapi, Rinjani ngga mau dijagain bu?" Eluhnya, ia memasang wajah memelas ke arah Ibu.

"Kata siapa!" Seruku, kata-kata yang tak sengaja keluar dari bibirku.

"Berarti mau ya!" Tatapnya, membuatku jadi salah tingkah.

"Eh—" ucapku gugup menahan malu menjawab pertanyaan Dira. Lalu, ku palingkan wajah kembali menonton TV tabung di depanku.

Tentang Rasa  Where stories live. Discover now