[18] Lemah

2K 102 2
                                    

Awan cerah kian berubah, menjelma menjadi bongkahan air hujan. Matahari menyisipkan raganya kesela gumpalan abu diatas langit. Geluduk mulai menjerit, memberi tanda cuaca akan berganti dingin. Burung-burung berlari mengelilingi langit yang sebentar lagi akan menangis.

Beberapa pasang kaki mencoba berontak, berlari serabutan menyelamatkan diri dari amukan hujan. Tak peduli dengan manusia lain, mereka meneduh dibawah pelindung atap gerai. Bekas jejak sepatu yang terbawa dari kubangan air hujan bertebaran dilantai bersih keramik setiap toko. Beberapa karyawan menyiapkan kain lap dan helaian kardus, menidurkannya dibawah kaki-kaki mereka. Banyak dari mereka menunggunya dengan memainkan ponsel, ada juga yang hanya menatap sendu air hujan yang terjatuh. Perasaan damai dan nyaman menyelimuti hati mereka disetiap pandangnya yang tertuju pada butiran air yang jatuh ke atap lantas dibawanya ke tanah aspal.

Jalanan aspal mulai sepi, hanya ada beberapa mobil yang melintas pelan. Pusat kota ini menghentikan aktivitasnya sejenak, menunggu hujan mengguyurnya dengan lahap. Membiarkannya menimpa wajah seorang namja, yang entah alasan apa yang ada padanya hingga menerima serangan air yang bertubi-tubi. Dirinya hanya diam, memandangi langit dengan matanya yang tertutup, tak ingin termasuki oleh guyuran itu. Dalam heningnya, membiarkan raganya tersapu rintikan air hujan. Memasrahkan seluruh tubuhnya terbasahi dengan sempurna. Tanpa ada yang tahu dia menangis. Air matanya menyatu dengan air hujan yang terus bertambah deras.

Sepintas tergambar wajah seorang namja muda yang menebar senyum manisnya. Menatapnya tulus seolah menyambutnya dalam lamunan. Juluran tangannya terurai hampir menggapai tangan namja ini. Dengan berbalut kain putih, ia bersinar memancarkan aura ketenangan.

Saat itu namja dibawah hujan tersadar. Maniknya mulai terbuka, menatap langit dengan rintikan air hujan yang mulai mengering. Hanya menyisakan tetesan-tetesan yang tersisa. Mulailah awan kembali hadir, langit kembali biru, sang surya berbalik badan.

Hentakan kaki-kaki manusia mulai berdatangan, mengelilingi telinga namja ini. Banyak dari mereka yang tak beralih pandang padanya, menatap tubuhnya yang dibiarkan basah kuyup karena hujan. Tatapan mereka terlihat sinis, aneh, menganggap itu sebuah frustasi besar dan keputusasaan. Mungkin itulah yang tengah dirasakan namja bernama Kim Yoongi ini.

"Uhuk... Uhuk..."

Suara serak dan mencekat itu berhasil membuyarkan lamunan Namjoon akan hujan yang mulai mereda. Segera ia alihkan pandangnya dari jendela, menatap wajah dongsaengnya yang kini terbujur lemah di brankar.

"Jungkook..."

Namjoon menggenggam tangan Jungkook yang terasa hangat. Memberikan elusan lembut yang mampu merangsangnya untuk segera bangun.

Manik namja itu mengerjap, menyetarakan korneanya pada cahaya lampu yang menusuk-nusuk matanya. Mengatur nafasnya yang terasa berat. Mencoba membuka suara yang terasa mencekat.

"H-hyu... Uhuk... Uhukk..." Suara serak itu tak bisa menyelesaikan sapaannya pada namja dihadapannya. Batuknya tak ingin membiarkannya berucap meskipun sepatah kata.

Namjoon meraih kotak tissu diatas nakas, mengambil beberapa helai disana. Tangannya sibuk membekam mulut dongsaeng yang tak henti terbatuk-batuk.

"Pelan-pelan saja, Jungkook-ah."

"Uhuk... Uhuk..." Tak puas dengan kinerja tangan Namjoon, tangan Jungkook berlari meraih tissu yang digenggam hyungnya. Memberikan sedikit tekanan disana untuk membendung benda yang sekiranya akan keluar.

"Uhuukkk.. Aakkhh"

"J-jung..."

Mata Namjoon terpaku pada helaian tissu putih yang kini dipenuhi bercak darah. Otaknya stagnan, tak mampu berpikir apa yang sedang terjadi pada dongsaeng kesayangannya. Jungkook pun sama, dia begitu kaget melihat cairan merah pekat itu membasahi tissunya. Tentu masih dengan rasa sakit yang datang dirongga tenggorokannya akibat mengeluarkan cairan itu.

Jeongmal, Jeoseonghabnida HyungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang