Bagian || 35

169 6 0
                                    

Keep reading guys😘

***

Aku muak.

Beberapa menit yang lalu aku baru saja menginjak lantai rumahku. Harusnya ibuku sudah tidur bukan jika aku tiba larut malam begini? Tapi beliau masih duduk sambil menonton televisi di ruang tengah.

"Bu? Kenapa belum tidur?"

Beliau menoleh dan menyunggingkan senyuman lebarnya kala matanya melihatku. Sambil membawa sesuatu beliau menghampiriku.

"Kenapa kau ini lama sekali? Ibu sudah menunggumu sejak tadi. Kau darimana saja?" tanya beliau.

"Dari rumah Frans" jawabku. Aku memang pergi ke rumah Frans walaupun memang sebentar dan berlanjut mengitari kota ini hingga larut. Ya, aku melakukan itu seharian ini.

"Tadi calon mantu ibu kemari, ibu yang menelponnya" ucap beliau yang membuat hatiku mencelos tak suka.

"Apa yang dia lakukan?" tanyaku pada ibu.

"Kenapa kau dingin seperti itu padanya? Jangan lupa kalau dia akan menikah denganmu"

Aku menghembuskan nafas lelah mendengar ibuku berkata demikian. Demi apapun aku benar-benar tidak ingin menikah dengan gadis pilihan ibuku. Alhasil, aku hanya diam mendengarkan beliau walau aku tidak berselera mendengar apapun itu.

"Ibu memintanya untuk memilih undangan mana yang bagus untuk kalian. Pilihannya sangat bagus dan berkelas. Ibu yakin kau akan suka, Rio. Tia memang benar-benar menantu idaman ibu. Cantik, baik, dan yang paling penting dia termasuk keluarga berada di kota ini, putri bungsu Bibi Joe, teman ibu," ujar beliau.

Ibu menyodorkan sebuah undangan yang sudah dicetak. Warnanya hitam dengan tulisan berwarna silver yang cukup elegan. Aku memang menyukai warna itu, tapi aku tidak menyukai fungsinya saat ini.

"Lihatlah! Bukankah ini terlalu bagus? Seleranya benar-benar luar biasa," pujinya sambil menatap undangan itu dengan bangga.

"Iya bagus. Aku mau istirahat dulu, Bu. Aku terlalu lelah hari ini,"

Aku menuju anak tangga yang akan mengantarku menuju kamarku yang memang berada di lantai atas.

"Jangan terlalu lelah, Rio. Pernikahan mu tinggal dua bulan lagi. Jaga kesehatanmu. Ibu tidak mau kamu sakit di hari pernikahan mu,"

Aku memutar bola mataku malas tanpa menyahuti perkataan ibu dan melangkah menaiki tangga sebelum aku mengingat sesuatu yang membuatku penasaran.

"Apa Bang Edo sudah pulang, Bu?"

Ibu menggeleng, "belum. Ibu juga tidak tau kemana anak itu. Biarkan saja lah. Mungkin dia juga mencari pendamping agar tak malu waktu datang di pernikahan mu dia masih lajang karena kau yang lebih dulu menikah,"

Ibuku terkekeh membuat emosi ku naik turun, "Kalau begitu kenapa bukan Bang Edo saja yang menikah?"

"Bukankah sudah ibu bilang kalau Edo tidak cocok dengan Tia. Lagipula, gadis itu lebih menyukaimu daripada abang mu itu. Ibu tidak ingin kamu berpikiran macam-macam. Jangan mengacaukan semuanya, Rio. Ibu mau tidur dulu, selamat malam" ucap beliau yang membuat perasaan ku benar-benar tak menentu. Ingin sekali aku marah tapi apa gunanya?

Aku melanjutkan langkahku yang sempat tertunda itu. Beranjak membuka pintu kamarku yang dingin dan sepi. Aku masuk dan menuju nakas samping tempat tidurku untuk meletakkan ponselku disana. Tubuhku lelah, hatiku juga. Aku butuh pelampiasan saat ini, tapi apa yang harus aku gunakan.

"Aaaarrrgghhhh" aku menendang pintu kamar mandi hingga terbuka lebar di depanku. Menghembuskan napas lelah, aku pun memasukinya untuk mendinginkan pikiranku yang mungkin telah berasap.

ENDEAR [END]Where stories live. Discover now