Bagian || 19

238 13 0
                                    

Keraguan muncul dalam benak ku, apakah aku harus menelponnya atau tidak. Padahal dia baru saja berangkat, dan aku pun masih berada di stasiun yang memang kebetulan aku mengantarnya. Ya, aku memang mengantarnya karena dia baru saja keluar dari klinik. Apakah aku tega membiarkannya pergi sendiri. Jika itu kalian, kurasa kalian akan melakukan hal yang sama.

Perdebatan sengit terjadi dalam otakku, di satu sisi aku yang akan malu dan harus mengatakan apa nanti ketika telepon. Sedangkan di lain hal aku sangat merisaukan dirinya.

"Telpon nggak ya?"

Aku membuka flap layar ponselku dan hendak mencari kontak gadis itu. Tapi, kuurungkan saja. Aku sama sekali belum siap.

"Apaan! Ogah banget gue nelpon. Kagak ada untungnya juga"

Aku kembali mengunci ponselku dan memasukkannya ke saku jaketku. Rasanya malu kalau menghubungi duluan. Tapi, kalau dipikir-pikir tidak mungkin jika wanita terlalu agresif. Jadi, mereka pasti gengsi jika mengabari dan menyapa duluan.

"Arghh.... bodo amat"

Ku bulatkan tekadku untuk menghubunginya walau hanya sebentar. Aku membuka flap ponselku lagi dan mendial nomornya. Aku menempelkan benda pipih itu di telingaku.

"Halo..?"

Suaranya terdengar lembut di pendengaran ku. Aku sungguh dapat bernapas lega dapat mendengar suaranya. Itu tandanya dia aman sekarang.

"Halo..?", ulangnya membuatku mengerjapkan kaget.

"I.. iya halo", ucapku tergagap.

"Ada apa, Pak?"

Aku memutar otak untuk menjawab pertanyaan tersebut. Apa yang harus aku katakan? Dasar bodoh.

"Halo, Pak? Kau masih disana?",

"I.. iya kita ma.. masih terhubung"

Apa yang ku katakan. Mengapa hal itu terdengar ambigu menurutku. Jangan-jangan disana dia tertawa terbahak-bahak meledekku.

"Hahaha kau lucu sekali"

Nah, kan. Sudah kuduga dia akan tertawa-tawa sendiri disana. Aku yakin, dia pasti akan terus-terusan meledekku selanjutnya.

"Ke.. kenapa kau tertawa, hah?" gertakku geram padanya.

"Ya, lucu saja. Suaramu terdengar bergetar" ucapnya.

Sangat terdengar kah suaraku yang tergagap tadi? Untunglah aku tidak begitu malu karena dia tidak berada di depanku.

"Tidak..", tolakku.

"Iya.. aku mendengarnya dengan jelas. Kau terbata-bata tadi. Apa kau gugup karena aku?"

Aku terperanjat kaget mendengar pernyataan gadis ini. Kenapa dia begitu percaya diri mengutarakan hal itu secara terang-terangan. Dasar gadis aneh.

"Jangan kepedean deh. Dasar..!"

Aku menolak mentah-mentah hal yang diutarakan olehnya. Padahal, hal itu pun tidak salah. Karena aku memang gugup karenanya.

"Sudahlah Pak. Tidak perlu malu untuk mengakuinya" dia terkekeh.

"Shit..! Awas aja kalo pulang. Habis kamu, Nak", batinku.

"Mengakui apa,hah?"

Aku sedikit berteriak padanya. Rasanya kesal jika berdebat dengan dia. Karena, dia yang selalu memenangkan perdebatan nya. Namun, di lain sisi aku juga senang?

"Pura-pura aja terus sampai aku nikah sama situ", ucapnya begitu frontal.

Aku terbelalak. Tidak terpikirkan jawaban yang diungkapkan gadis ini. Apa itu semacam kode? Aku juga tidak mengerti

"Si.. siapa yang berpura-pura, hah?"

Aku menghela napas kasar. Cukup menguras tenaga juga jika berbicara dengan gadis tak tau malu ini.

"Argh.. kenapa situ terus-terusan gagap gitu, sih! Lebay amat jadi cowok"

Aku menggertakkan gigi ku kesal. Beraninya dia mengatai lebay padaku. Benar-benar tidak sopan.

"Bersikaplah sopan padaku. Kau tidak ingat siapa yang menolongmu dan membawamu ke klinik, hah?", ucapku kesal.

"Aku begitu juga karena Anda"

Tanpa sadar tanganku terkepal. Mulutku pun terkatup rapat tidak bisa menjawab pertanyaannya. Memang benar aku yang memintanya keluar untuk menemui ku. Tapi, bukankah dia juga akan pergi waktu itu? Jadi, itu semua tidak sepenuhnya salahku, kan?

"Ah.. sudahlah.. ada apa kau menghubungiku?", tanyanya.

Aku memejamkan mataku untuk menetralisir amarah dan emosi ku yang tercampur menjadi satu. Aku tidak mungkin melampiaskan kekesalan ku di depan umum.

"Aku hanya ingin tau kabarmu sekarang", jawabku.

"Nggak papa, sayang!" jawabnya sambil berteriak hingga aku harus menjauhkan ponselku dari telingaku.

"Sayang gundulmu", teriakku balik.

Tidak salahkah dia mengatakan hal itu. Memanggil dengan berteriak tidak sopan, ditambah kata yang diucapkan sungguh membuatku tambah kesal.

"Apa sih, kok Pe-De banget. Orang aku lagi bicara sama si dia"

Aku mengernyitkan dahiku heran. Si dia, ya. Lalu, kenapa aku merasa aneh?

"Ya pokoknya tadi itu aku nggak bicara sama situ" tambahnya.

"Ya nggak Pe-De juga lah. Kan, saya dengernya gitu waktu kamu yang teriak tadi." ucapku cukup kesal.

"Jangan suka mengira-ngira deh, Pak. Itu nggak bagus dan nggak pasti lagi. Sakit pak sakit.. "

Tuuttt.. tuuttt.. tuutt..

Sambungan terputus sepihak. Aku malas mendengarkannya lagi dengan ocehan tak penting itu. Setidaknya aku juga sudah mendengar suaranya.

Aku heran, bisa-bisanya ada makhluk seperti dia. Kadang lembut dan kadang sangar. Aku harus segera pulang untuk merebahkan tubuhku di atas kasur. Semoga, aku tidak terkena rematik hari ini.

🖌️🖌️🖌️🖌️🖌️

Apakah rasa ini akan tak tersampaikan karena si dia?

🍁🍁🍁🍁🍁

Holla haiii gais...
Balik lagi sama Lala Rio nih!
Gimana part ini? Membosankan kah?
Maaf, masih amatiran soalnya...
Semoga suka dan jangan lupa vote dan comment,ya?
Lopyu
Ghaits

ENDEAR [END]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora