Bagian || 18

244 15 0
                                    

Rumah sakit,

Aku terbangun ketika jemari lembut membelai pelan rambutku. Lala, gadis itu tersenyum getir melihatku. Kulihat arloji di tangan kiri ku menunjukkan pukul sebelas malam.

"Ada apa? Kau butuh sesuatu? Kau masih pusing? Bagaimana kondisi mu? Apa lebih baik dari sebelumnya?" tanyaku padanya ketika ia menatapku.

"Tidak, aku tidak membutuhkan apapun. Aku merasa sama saja tapi sudah tidak pusing. Hanya saja masih kedinginan" jawabnya sambil tersenyum.

Senyum itu mengingatkan ku tentang seseorang yang menghubungi ponsel milik gadis ini.

"Baiklah.. jika kau butuh apapun jangan sungkan untuk memberitahu ku" ucapku padanya.

"Kenapa?"

"Dasar bodoh, memangnya ada siapa lagi disini selain aku?"

Gadis itu memutar bola matanya malas.

"Hm.."

"Tidur saja lagi!" suruh ku.

"Kenapa?"

"Karena aku masih mengantuk. Aku juga butuh tidur" jelasku.

Dia memiringkan kepalanya seraya menatapku.

"Lalu?"

"Apa?" sentakku padanya.

"Tidur aja, tinggal merem juga bacot" desisnya pelan namun aku sangat sangat mendengarnya dengan jelas.

"Anjirr, minta diapain sih lo?" batinku.

"Bersikaplah sopan"

"Maaf, lupa kalau Anda itu seorang dosen"

Aku menghela napas berat, menghadapi gadis ini memang butuh kesabaran ekstra luar biasa.

"Aku tadi menerima telepon dari ponselmu" ucapku.

Dia menoleh cepat dan menatapku tajam.

"Dari siapa?" tanyanya serius.

"Zan..?"

"Geblekk, ngapain pake nelpon juga tuh orang" gerutunya sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.

"Kenapa?"

"Tidak ada apa-apa" jawabnya cepat seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kau menyembunyikan sesuatu dariku?" tanyaku padanya.

Ku lihat gelagatnya mulai aneh. Dia bergerak tak nyaman di ranjang rumah sakit. Sepertinya dia bingung, karena dia tetap diam tak bergeming.

"Aku ingin bercerita padamu. Begini,----"

"Aku tidak ingin mendengar ceritamu itu!" gertaknya.

Aku sedikit terkejut mendengarnya mengucapkan hal itu. Dan aku juga memaklumi kondisinya yang memang masih marah padaku.

"Okee... Jika kau tidak ingin mendengarnya, akan ku buat dirimu babak belur. Kau suka itu, kan?" ucapku sambil tersenyum.

Sontak saja dia menegakkan tubuhnya menjadi setengah bersandar.

"Maaf, aku tidak suka babak belur karena aku lebih menyukai martabak telur" jawabnya sambil tersenyum hangat.

Aku membalas senyumnya dengan tatapan penuh selidik padanya.

"Senyummu sangat mirip dengan seseorang" kataku seraya menyipitkan mataku melihat ekspresinya yang sedikit aneh.

"Ja.. jangan mengada-ada, aku tidak punya kembaran", jawabnya.

Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada seraya bersandar di kursi samping ranjang.

"Menurutku, kau mirip salah satu personel girlband itu. Ya benar!" jawabku semangat.

"Hah? Si.. siapa?"

Aku tertawa dalam hati. Dia memang benar-benar terkejut, wajahnya pucat entah karena sakit atau syok.

"Kalau tidak salah The Dreamer itu. Siapa namanya tadi... emb... Flo? Nah iya Flo"

Kulihat dia mengerjapkan matanya berulang-ulang, kurasa dia bingung. Dia tetap diam sambil menggigit bibir bagian bawahnya.

"Flo? The Dreamer? Apaan sih! Aku aja nggak tau" jawabnya.

Aku tersenyum miring mendengarnya. Dia pintar berbohong ternyata.

"Aku yang nggak begitu suka musik aja tau. Girlband itu cantik-cantik, sih. Mungkin aku tertarik karena itu" jawabku ringan.

"Kau paling suka dengan siapa?" tanyanya.

Aku yakin dia sudah mulai tertarik dengan yang ku bicarakan.

"Flo.." jawabku seraya meliriknya sekilas yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.

"Si Flo itu?"

Gadis ini tersenyum dan menatapku seolah dia berharap aku mengatakan bahwa itu benar.

Seketika aku tidak bisa bergerak. Aku diam mematung di samping gadis yang tengah tersenyum sambil rebahan itu. Entah kenapa aku ingin selalu melihatnya tersenyum damai seperti itu.

"Hei, kau masih mendengarkan aku tidak? Jangan ngelamun dong nanti kesurupan" dia menjentikkan jarinya di depanku.

"Ah.. iya kau benar" jawabku.

"Hah? Apanya?"

"Si Flo itu," jawabku.

Dia melotot ke arahku dengan ekspresi wajah yang entahlah. Pipinya juga bersemu merah, apa dia malu? Tapi kenapa? Kurasa ini jawaban bahwa dia memang seorang selebritis.

"Apa?"

"Apanya yang apa?"

"Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanyaku.

Dia mengerjap beberapa kali dan menunduk kikuk di hadapanku. Melihatnya menyembunyikan wajahnya seperti itu membuatku merasa tak nyaman.

Aku berdehem untuk mencairkan suasana yang sepi dan berhasil!

Dia mengangkat wajahnya yang cantik. Benarkah dia cantik? Ah iya.. tentu saja, dia seorang artis yang harus selalu menomor satukan penampilan mereka.

🖌️🖌️🖌️🖌️🖌️

Ada udang di balik bakwan. Mungkin itu menggambarkan bagaimana dirimu

🍁🍁🍁🍁🍁

Holla haiii gais
Gimana dengan part ini?
Ayo dong semangat bacanya, biar aku juga semangat nulisnya...
Tetap dinanti nggak sih ceritanya? Mau lanjut atau gimana nih?
Pokoknya tetap stay aja sama Lala Rio nya ya gais. Pastinya mereka bakal setia nemenin kalian sampai part akhir🎉
Happy reading guys😘
Jan lupa untuk selalu vote dan comment yak?
Lopyu
Ghaits
L. A.

ENDEAR [END]Where stories live. Discover now