just a feeling (pt. 1)

2.6K 307 35
                                    

Park Jimin meremat kuat buku-buku yang ada dalam genggamannya. Bola matanya mengarah pada seorang yang terduduk di sisi kaca besar sebuah kafe yang terletak tepat di sudut jalan.

Jika saja pria itu duduk seorang diri, Jimin pasti akan langsung berlari menghampirinya. Memeluk sang kekasih dari belakang dengan hangat lalu mengambil tempat untuk duduk di sampingnya.

Tapi bagaimana jika ada seorang lain yang mengambil tempat itu?

Jimin hanya mampu memandangi dari jauh, termenung dengan sejuta pertanyaan dan sesak yang berkerumun dalam batin kecilnya.

Mata itu merekam segalanya dengan baik. Membuatnya menjadi gulungan demi gulungan lalu menyimpannya dalam pusat ingatan dalam otak.

Tak ada yang luput dari penglihatannya, bahkan saat pria itu menautkan tangan keduanya di bawah meja. Jimin masih di sana, tak bergeming. Menyaksikan semuanya dalam keheningan dunia yang seakan berhenti berputar.

Satu titik, Jimin harus mengaku menyerah pada seluruh luka yang ia dapatkan hari ini. Tak bisa menyanggupi jika ia harus melihat pemandangan itu lebih lama lagi. Ia hanya ingin pulang.

Tapi, kemana ia harus pulang jika rumahnya telah hancur?

Kemana ia bisa membawa kakinya untuk melangkah?

Kepada siapa ia harus berlari dan menangis saat ini?

Air yang menggenang membuat mata Jimin mulai berkabut. Ia membalikkan tubuh dengan cepat lalu menggerakkan kakinya menuju arah yang tak pasti.

Pertahanan yang ia bangun sedari tadi nyatanya hancur seiring tetes hujan yang mulai membasahi kota, seolah bisa merasakan apa yang saat ini Jimin rasakan. Semesta ikut berduka bersamanya, menangisi semua luka yang berkumpul dan menciptakan lubang besar dalam hati.

Semua orang berlarian melewati Jimin, mencari tempat untuk berteduh dari serangan air mata bumi, tapi Jimin enggan untuk bersembunyi.

Tak sadar, langkah kecilnya membawa Jimin menuju gedung apartemen yang penuh cerita itu. Tak ada sisi yang belum pernah mereka hias dengan cerita di sana.

Cerita mereka terukir di sana, di setiap sisi, di setiap dinding. Melekat layaknya parasit yang kini mulai menggerogoti diri Jimin. Memaksanya untuk memutar kembali seluruh kenangan yang pernah mereka miliki.

Semua hal yang pernah ia miliki bersama Min Yoongi.

Jimin menyunggingkan senyum miris. Teringat akan kebodohannya yang masih saja berharap bahwa di dalam hati Yoongi yang telah berganti, masih ada sedikit ruang tersisa untuknya.

Mungkin sudah 5 bulan atau 6 bulan yang lalu saat Jimin mulai merasakan perubahan dalam hubungan mereka. Ia sadar, perasaan jengah dan bosan sedang menekan salah satu dari mereka dan itu adalah Yoongi.

Bukan pertama kalinya hubungan mereka diterpa hal seperti ini. Wajar saja, menjalin hubungan selama 7 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Namun, selama ini mereka selalu berhasil melewatinya.

Hingga pagi itu Jimin menatap mata Yoongi dan ia mengerti. Tanpa kata, ia tau apa yang sedang terjadi pada mereka.

Dan ia paham, kali ini berbeda dari biasanya.

Apartemen yang luas itu terasa mati. Jemari Jimin menyusuri bagian atas sofa yang selalu menjadi tempat mereka bersantai. Duduk sambil memeluk satu sama lain dan menceritakan hari yang mereka lalui.

Kapan terakhir kali mereka berbagi cerita tentang hari-hari yang dilalui?

Entahlah. Sudah terlalu lama.

Napas Jimin memberat kala kenyataan menghantam benaknya begitu keras. Menjatuhkan ke dalam lubang bernama realita dan terbangun dengan rasa sakit yang teramat sangat.

just a storyWhere stories live. Discover now