Tikungan 34

4.9K 945 228
                                    

Akan update lagi kalau vote dan komennya agak pecah, karena saya juga butuh asupan mwehehe.

Happy reading❤️

***

Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Surya, selain melihat Salju kembali tersenyum. Selang seminggu setelah Salju kembali ke Jakarta, ia tahu cewek itu butuh menenangkan diri, tanpa dirinya. Sekaranglah Surya baru sempat pulang, melongok dari jendela kamarnya ke arah taman belakang rumah Salju.

Tanpanya, Salju baik-baik saja. Ada keluarga yang begitu hangat menerima, menyembuhkan dan menguatkan. Surya bagi Salju pasti sudah tidak berarti apa-apa. Surya mengulas senyum tipis. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana panjang, mengamati—untuk kesekian kali—keluarga Salju yang tetap harmonis sampai sekarang.

Sedari kecil, Surya akan melihatinya dengan tatap nanar dan kesedihan pekat, saat ia ditinggalkan sendirian di rumah, dan hanya berandai menjadi bagian dari keluarga Salju. Tapi kini, perasaan sepi kembali hadir, hanya tidak sepekat dulu. Karena senyum Salju mampu membuatnya baik-baik saja, meski tidak ada ia di samping cewek itu.

Kembali difokuskan pandangannya ke taman belakang, saat hanya tinggal Salju sendirian yang mungkin menolak ikut masuk ke rumah. Di taman itu kini sudah ada bangku panjang dengan atap dan meja lingkaran, persis gazebo di lapangan sekolahnya dulu.

Salju terlihat fokus dengan tumpukan buku di depannya. Surya meyakini itu adalah novel-novel yang belum sempat Salju sentuh karena sibuknya dunia perkuliahan. Menghela napas pelan, Surya melangkah menuju dapur, menyeduh teh dalam dua cangkir kecil. Warna kemerahan dan aroma rosela terhidu, membuat Surya tersenyum.

Dimantapkan kedua langkahnya menuju tempat yang menyimpan banyak kenangan dan cerita masa kecil. Taman belakang rumah Salju. Dalam jarak yang tersisa, Salju belum juga menyadari kehadirannya. Surya menunduk, menatap dua cangkir di tangannya, lalu beralih ke Salju yang kini tidak lagi fokus membaca namun menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Apa ini saatnya? Apa Salju sudah siap bertemu dengannya lagi? Surya ingin membicarakan banyak hal, yang mungkin akan semakin menyakiti keduanya, terutama Salju. Ia tidak bisa membiarkannya begitu saja. Lebih baik Salju membencinya sampai tidak ingin lagi melihat wajahnya, daripada membiarkan Salju berprasangka tentang hal yang lebih buruk tentangnya—walau memang ia seburuk itu.

Perlahan dihampirinya Salju. Tepat di samping Salju yang belum menyadari kehadirannya, langkah itu terhenti. Surya menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan gerak perlahan. Berusaha meredam gemuruh detak jantungnya yang menggila, tapi sia-sia.

Seperti beribu detik habisnya waktu sejak ia mengulurkan tangan, sampai satu cangkir berhasil mendarat di meja tepat di hadapan Salju.

Dan Surya sendiri membeku.

Di depannya, dalam jarak yang lumayan dekat, Salju menatapnya dengan keterkejutan yang tidak berusaha ditutupi. Seseorang yang menjadi korban dari banyaknya tindakan keegoisan Surya. Seseorang yang seharusnya tidak ia seret dalam kekelaman masa lalu. Salju tidak harus bertanggung jawab atas sakit hati Surya dipermainkan dua wanita. Seharusnya dari awal Surya menghindarkan diri agar Salju tidak ia seret dalam masalah hati.

Surya menelan ludah. Keduanya saling tatap. Untuk pertama kalinya Surya biarkan Salju melihat seluruh luka, seluruh sakit dan kerapuhan, juga setiap usahanya yang tertatih untuk bertahan.

Kedua kaki Surya tidak lagi sanggup menyangga. Tubuhnya terduduk di sisi kiri Salju, dengan tangan bergetar meletakkan satu cangkir miliknya ke meja.

Seperti tersengat, Salju meraih kruk, berniat pergi. Tapi gerakan Surya lebih cepat. Tangannya menahan lengan Salju, awalnya tegas dan sedikit memaksa agar duduk, tapi lalu ia mengusap pelan lengan Salju, seakan tindakan tidak sadarnya tadi menimbulkan luka baru bagi Salju.

SURYA & SALJUDonde viven las historias. Descúbrelo ahora