Tikungan 31

4.8K 944 211
                                    

Ramein vote dan komen yuk.
Happy reading❤️
***

"Tunggu, ya. Gue pulang sekarang."

Salju mengembuskan napas dengan lebih pelan. Dadanya terasa sesak tapi ia merasa lega. Bagaimana mungkin suara Surya yang sudah sebulan lebih tidak ia dengar, bisa membuat suasana hatinya mendadak terasa lebih baik? Walau tanpa kata menenangkan pun, Salju yakin semua akan baik-baik saja hanya dengan menyadari bahwa saat ini Surya datang untuknya.

Tidak peduli apa pun lagi. Salju membutuhkan Surya dalam hidupnya dan ia tidak ingin merasa lebih menderita dari usaha menghindarnya selama ini. Bagaimana pun perasaan Surya untuknya, ia tidak peduli.

Baru saja Salju menutup mata untuk mengistirahatkan pikirannya, suara keras Tama terdengar. Salju mengernyit heran. Tidak pernah sama sekali Tama bersuara sekeras itu selama ini. Menahan lelah di tubuhnya, Salju memutuskan beranjak dan berjalan ke ruang tengah.

Tidak ada yang lebih mengejutkan dari bentakan Tama kepada Rosa yang duduk diam di sofa, dengan mamanya yang menangis histeris.

Ya Tuhan, apa lagi ini?

"Jangan bohongi Papa!"

"Pa ...." Salju memanggil pelan. Ia yakin suaranya bahkan sangat lemah dan serak. Ia capek, fisik dan hatinya. Ia melangkah mendekat ke papanya yang berdiri di depan sofa. "Ada apa?"

"Lihat ini!" Lagi-lagi Tama bersuara keras. Ekspresi wajahnya mengeras sampai gurat hijau kebiruan itu terlihat jelas. Tatapannya menyimpan amarah saat menyerahkan ponsel ke Salju.

Salju mendekat dengan pelan. Tangannya meraih ponsel dan melihat gambar demi gambar yang membuat ia memejamkan mata erat. Giginya bergemeletuk hebat.

Farah sialan!

"Papa dapat kiriman foto-foto itu tadi." Napas Tama masih memburu walau suaranya sudah mulai memelan.

Kembali Salju amati ponsel yang ia pegang sangat erat, seakan ingin menghancurkannya saat itu juga. Foto-foto 'hampir' telanjang Rosa. Persis seperti yang siang tadi ia saksikan di hotel. Memang tidak terlihat sampai wajah, tetapi name tag itu menunjukkan segalanya.

"Papa lebih percaya foto-foto ini daripada anak Papa sendiri?" tanya Salju pelan. Ia duduk di sebelah Rosa, tidak sanggup berdiri lebih lama dari itu.

"Papa marah karena Rosa nggak mau bilang jujur, Salju!"

Salju mengusap wajah dengan kedua tangannya, merasa tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Farah benar tidak tanggung-tanggung menghancurkan keluarganya.

"Jawab Papa, Rosa!!!"

Dan Salju tidak pernah melihat keluarganya sekacau ini sebelumnya.

"Pa ...," ujar Salju pelan. Ia ikut memeluk tubuh Rosa, sama seperti mamanya. "Rosa nggak akan bisa jawab kalau Papa tanya sambil marah."

Tatapan tajam Tama terarah pada Salju. "Apa kamu tahu tentang hal ini? Kamu menyembuyikan dari Papa? Iya?!"

Salju memejamkan mata erat, meresapi dengungan di telinganya, semakin merambat ke kepalanya membuatnya mendadak sangat pening.

"Apa kalian nggak menganggap kami ini orang tua, ha?!"

Air mata Salju sudah menetes lagi. "Papa, Rosa juga sedih. Nanti pasti cerita. Asal Papa jangan marah-marah dulu."

Seperti tersadar, Tama mundur beberapa langkah dan terlihat gusar. Kemaja kerjanya sudah sangat berantakan. Salju tahu papanya sakit hati dan sedih. Dua anak perempuannya disakiti lelaki seenaknya sendiri. Salju bisa memahami perasaan Tama.

SURYA & SALJUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang