22. Kasih Tau, Ya?

4.6K 941 127
                                    

Sampe lupa mau upload ini pas saur karena mantengin TheWorldOfMarried dulu haha

Yok yok vote dan komen biar saling semangat.
❤️

Salju mengernyit nyeri saat luka di punggungnya dikompres. Ia duduk di atas tempat tidur dengan pandangan nyalang ke luar jendela. Sudah pagi lagi. Semalaman ia hanya tidur, sekarang badannya terasa lebih segar. Demamnya sudah turun, lebam-lebam di tubuh sudah tidak terlalu terasa walau ia tahu warnanya lebih menyeramkan daripada kemarin. Salah satu yang masih terasa mengganggu adalah rasa sakit di jari-jari tangan. Sepertinya akan sedikit lama dalam penyembuhan.

"Lebar banget, Sal."

Salju meringis mendengar gumaman Yuli. Ia tidak tahu kapan orang tuanya sampai di rumah. Yang pasti tadi malam saat ia bangun tidur, Yuli sudah ada di kamarnya. "Nanti Mama panggil dokter lagi untuk memastikan keadaanmu. Kamu sama Rosa suka banget menyembunyikan apa-apa dari Mama."

Helaan napas terdengar dari Yuli. Salju kembali memakai kausnya dan ia segera berbalik dengan pelan. Ditatapnya wajah seorang ibu yang selama ini merawatnya seperti tidak pernah merasa lelah. Ia tahu, semalaman Yuli di kamarnya, memastikan ia baik-baik saja. Saat Salju membuka mata karena sakit yang tiba-tiba mendera, Yuli selalu ada di sana, tanpa terlelap.

Hal itu membuat rasa haru merayap di hati Salju. Ia sakit, dan orang tuanya lebih sakit dari itu. "Mama ...," bisik Salju pelan. Mata sayu yang beradu dengannya sungguh membuat Salju ingin menangis. "Maafin Salju, cuma bisa ngerepotin dan bikin khawatir."

"Mama nggak merasa direpotkan, Sayang." Salju merasakan usapan lembut di kepalanya. Ia menunduk dan mencoba menahan air mata. Ia tahu mamanya akan ikut menangis jika ia melakukan itu. "Mama hanya berpesan, kamu harus bahagia. Kamu sudah bukan anak SMA lagi, pasti tahu mana orang yang patut kamu rangkul, dan mana yang enggak."

Salju mengangguk. Ia mengangkat pandangannya dan tersenyum, tidak ingin memberati orang tuanya dengan tangisan lagi. Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Tama dengan pakaian kerjanya tersenyum berjalan ke arah mereka, menarik kursi dan duduk di samping tempat tidur.

"Udah mendingan?"

"Iya, Pa." Salju menunduk lagi. Ia merasakan kepalanya diusap pelan oleh papanya.

"Nggak masuk kuliah, kan?"

Salju terkekeh. "Nggak, Pa. Muka bengkak kayak gini, malu banget."

Tama tersenyum.

"Papa, kok, belum berangkat?"

"Ada yang ketinggalan tadi jadi balik lagi. Sekalian nengok kamu ternyata udah bangun. Kemarin seharian belum ngobrol."

Salju tahu apa 'ngobrol' yang dimaksud papanya. Berada di tengah orang tuanya seperti itu membuat Salju waswas. Terlebih saat helaan napas Tama yang terdengar lelah, juga tatapan kesedihan yang diarahkan padanya.

Tama berpindah duduk ke tepi tempat tidur agar lebih dekat dengan Salju. "Papa sedih lihat keadaan kamu kemarin. Papa sama Mama membesarkanmu hampir 20 tahun, nggak pernah sama sekali berniat menyakiti kamu dengan memukul sampai seperti itu. Tapi dia yang baru kenal kamu, sudah berani memukul anak Papa."

Salju menunduk, memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa sedih yang tidak bisa ia sepelekan. Ucapan mamanya tadi masih terngiang, ditambah Tama meluncurkan kata-kata kekecewaan membuat Salju meringis pelan. Rasa bersalah karena ia tidak menjaga dirinya dengan baik seketika muncul.

"Maaf, Pa. Salju ngeyel waktu Papa nyuruh Salju ajak dia ke rumah."

Salju tahu mengapa papanya menyuruh membawa Rinto, karena penilaian orang tua memang sangat penting. Mungkin naluriah, jika orang tua bisa memastikan lelaki yang baik untuk anaknya. Kedua mata Salju mulai merebak. Begitupun kedua mata yang sedang ia tatap. Di balik senyum Tama, Salju tahu papanya sangat kecewa. Kesedihan seorang pria karena anaknya disakiti pria lain. Kedua tangannya memeluk tubuh papanya, memeluk kekecewaan itu dengan sebuah air mata permintaan maaf.

SURYA & SALJUWhere stories live. Discover now