5. Di Perpustakaan

5.7K 1K 45
                                    

"Ceilah yang baru kencan sama Pak Rinto. Astaga, gue kayak nyebut gebetan lo itu seorang bapak-bapak."

"Berisik lo!"

Surya terkekeh. Dia berbaring dan menjatuhkan kepalanya di kedua kaki Salju yang berselonjor. Cewek itu terlihat tidak terpengaruh, tetap membaca buku dengan fokus. "Ngapain aja kalian?"

"Cuma nganterin gue pulang."

"Nggak mampir?"

Salju menggeleng. Satu tangannya menarik kepala Surya sampai pahanya. Lututnya terasa pegal jika kepala Surya yang berat nangkring di sana.

"Masa? Lo kali yang malu cerita sama gue." Surya mengetuk-ngetuk buku yang menghalangi wajah Salju darinya.

Salju meminggirkan buku bacaan dan menunduk meneliti wajah jail sahabatnya. "Rese!"

Surya tertawa. "Ini tentang cowok yang pertama kali bikin lo jatuh cinta, Sal. Gue harus rayain ini."

"Gue nggak cinta sama dia."

"Tapi suka puisi-puisinya."

"Belum pasti itu puisi dari dia. Sok tahu lo."

Surya berdecak. "Siapa pun cowok itu, intinya secara nggak langsung dia udah bikin lo cinta sama dia."

"Bodo amat. Gue mau masuk. Bentar lagi ujan."

Surya menatap sekeliling. Sore itu memang sedikit mendung. Mungkin benar akan turun hujan. Ia mengangkat kepalanya dan duduk tegak. Salju memberesi buku-buku yang berserakan dan menumpuknya menjadi satu.

"Angkat matras dan bawa ke rumah gue!" perintah Salju serta merta.

"Kenapa nggak lo sendiri?"

Salju mengangkat setumpuk buku. "Lo nggak lihat gue udah repot?"

"La tadi lo bisa sendiri."

"Kerja dua kali. Males. Cepetan ah. Lama."

Surya mendelik tetapi tidak dipedulikan karena Salju sudah melangkah masuk lewat pintu belakang rumah. Mereka memiliki sebuah halaman indah di belakang rumah. Ada ayunan dari besi yang sejak kecil menemani keseharian mereka. Hanya saja kini Salju tidak ingin menaiki lagi. Katanya, pasti ada penunggunya karena tidak pernah dilepas dan bongkar selama belasan tahun. Cewek itu lebih memilih menggelar matras dan menghabiskan waktu di sana.

Tangan Surya melipat matras dan mengangkat benda itu dengan mudah.

"Salju, kamu kebiasaan nyuruh-nyuruh Surya sembarangan, ya," omel Yuli saat melihat Salju masuk rumah diikuti Surya yang membawa matras.

"Berat, Ma. Surya kan cowok. Biarin aja."

"Tapi kasihan begitu."

Surya tertawa mendengar ucapan Yuli. "Nggak, Tante. Udah biasa kalau cuma begini. Kecuali kalau disuruh gendong Salju, baru kasihan."

Yuli tersenyum. Salju justru mendengus sebal. "Lawakan lo kerupuk banget. Mama aja sampai pura-pura senyum."

"Gue nggak ngelawak. Gue serius. Lo kan berat."

"Gue nggak gendut!" teriak Salju tidak terima.

"Lo nggak gendut tapi berat."

"Sama aja!"

Yuli menyela. "Sudah. Kamu kenapa suka sekali teriak, Sal? Padahal Surya biasa saja."

Salju menghentakkan kakinya kesal. Percuma saja. Perdebatan itu akan berakhir dengan Yuli yang membela Surya.

***

Suasana kelas mendadak sepi saat terdengar langkah kaki yang lumayan keras. Semerbak parfum maskulin membuat semua mengarahkan pandangan ke arah pintu. Semakin langkah itu mendekat, beberapa siswa melongo, atau mengerjapkan mata dengan berlebihan. Tidak sedikit pula yang mengucek matanya seakan apa yang dilihat di depannya adalah sebuah kemustahilan.

SURYA & SALJUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang