-15-

1.8K 294 19
                                    

Ujian hari terakhir. Sehun datang paling awal hari ini, membagikan bunga untuk teman-temannya yang baru sampai. Senyuman lebar menghiasi wajah, memancarkan aura yang membuat orang-orang ikut berbahagia ketika mendapatkan bunga kesukaan mereka. Sehun juga membawa banyak coklat. "Karena ini hari terakhir ujian," balasnya ketika ada yang bertanya.

"Kau suka mawar, 'kan? Aku punya banyak mawar, ambil saja."

"Ada anggrek juga, ini ... kau bisa menanam anggreknya, aku beli ini untukmu."

"Ah, coklat vanila. Aneh sekali, ya? Padahal namanya coklat, tapi berwarna putih. Aku bercanda, ini untukmu."

"Apa favoritmu? Kita jarang berbicara, jadi aku kurang tahu. Aku membeli bunga matahari dengan baby breath sebagai selingan sekitarnya. Maaf kalau menurutmu kurang cocok, ini terlihat cantik di mataku, sama sepertimu."

"Ah, Guru Kim. Ini khusus untuk Anda, hehe." Sehun memberikan bunga dan coklat terakhir pada guru cantik yang sudah mengajar kelasnya dengan lembut. Guru cantik yang menjadi idola hampir semua murid di kelasnya.

Guru Kim tersenyum tipis, menepuk pelan punggung Sehun tiga kali. "Semangat, ya? Ini ujian hari terakhir," ucapnya.

"Tentu," jawab Sehun, memberi senyuman termanisnya.

Sehun berjalan di belakang Guru Kim, duduk di meja yang menjadi tempatnya. Seisi ruangan memiliki bunga pemberian Sehun, mereka mengerjakan soal dengan lebih santai kali ini, mungkin sebagian sedang memikirkan sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan setelah ujian hari ini usai. Merayakan berakhirnya ujian.

Tidak ada yang berbicara selama ujian, tentu saja karena itu memang bukan sesuatu yang diperbolehkan. Mereka semua terlalu fokus pada layar komputer, begitu juga dengan Sehun. Sehun sama sekali tidak peduli pada sekitar, dia bahkan tidak memberikan perhatian pada Jongin sedikit pun, sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya.

"Lima belas menit lagi," ucap Guru Kim. Sehun meneliti lagi jawabannya, tersenyum puas. Ada beberapa soal yang sulit, tapi dia mempredisiksi sembilan puluh persen jawabannya benar. Nilai paling sedikit yang dapat Sehun capai adalah delapan puluh, dia yakin dengan itu.

"Lima menit lagi, cek jawaban kalian sebelum keluar dari situs."

Sehun sudah menyelesaikan ujiannya, tersenyum lebar. "Hyung melakukannya dengan baik 'kan, Jongin?" lirihnya, tersenyum tipis. Mata Sehun berkaca-kaca. Ketika bel tanda ujian telah usai berbunyi, Sehun menjadi orang pertama yang keluar dari ruangan setelah diperbolehkan oleh pengawas.

"Song Jongin meninggal pagi ini, pemakamannya akan dilakukan sore nanti." Teman-temannya mulai berbisik.

"Sehun pasti sangat terpukul."

"Dia terlihat begitu memuja adiknya. Yah, mereka memang hidup berdua saja, saling memiliki satu sama lain."

"Dia melakukan semuanya, tapi itu membuat Sehun semakin terlihat menyedihkan."

"Oh, hatiku sakit untuk pria tampan kita."

"Kutebak, Sehun tidak akan sudi memasuki dunia bisnis. Dia terlihat begitu benci dengan pekerjaan bernama bisnis."

Jongin menahan napasnya. Song Jongin, adik Sehun meninggal? Jongin merasa buruk tanpa alasan. Dadanya ikut sakit, terlebih saat mengingat senyuman Sehun pagi tadi. "Apa dia bodoh? Kenapa tidak menangis saja?" gerutunya, berjalan cepat. Tujuan Jongin saat ini adalah menemui Sehun.

Berhasil. Sehun masih berada di area sekolah. Jongin berlari menghampirinya, memeluk tubuh Sehun dari belakang. "Kau ini bodoh, ya? Kenapa tersenyum sepanjang waktu, sedangkan hatimu tersakiti?"

"Apa maksudmu?"

"Mereka mengataimu bodoh! Menyedihkan! Kau ini tidak sadar, ya? Menangis terlihat lebih wajar daripada semua perbuatanmu tadi!"

"Kau tahu apa?" sentak Sehun, melepas pelukan Jongin dengan kasar. Dia berbalik cepat, menatap Jongin dengan terluka. "Adikku, adikku sangat mirip denganmu. Setiap melihatmu, aku berfantasi tentangnya. Tentang dia yang akan menjadi sehebat dirimu, tentang dia yang akan berlari di tengah lapangan. Tapi, saat melihatmu sekarang, semua fantasiku itu juga langsung jatuh. Adikku tidak akan pernah bisa sepertimu. Dia tidak akan pernah bangun lagi! Kau puas, hah?"

"Aku ... bagaimana itu bisa menjadi kesalahanku?" Jongin memundurkan langkahnya. "Aku bahkan belum pernah bertemu dengan Song Jongin. Kenapa kau melampiaskan kekesalanmu padaku? Itu tidak adil."

Sehun tersentak, dia menggeleng kasar. "Dia tidak suka melihatku menangis, terutama saat di depannya. Ini memang bukan kesalahanmu, tapi ... kau selalu mengingatkanku padanya. Saat dia terbujur di ranjang pesakitan, sedangkan kau berlari di lapangan. Aku benar-benar memunculkan fantasi itu. Tentu saja itu bukan salahmu. Itu salahku. Semua kesalahanku karena terlalu sering berharap sesuatu yang tidak pasti. Aku terlalu banyak berharap dan sekarang, inilah kenyataannya. Adikku sudah pergi. Adikku pergi, Jongin. Oh, kenapa kalian memiliki nama yang sama juga? Ini benar-benar menyakitkan." Sehun berjongkok di depan Jongin, menangkup wajahnya. Dia menangis seperti anak kecil sekarang, tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Jongin ikut berjongkok, merasa bersalah. Seharusnya, dia membiarkan Sehun menenangkan diri, bukannya mengorek rasa sakitnya. Jongin merasa sangat buruk. "Adikmu tidak akan kesakitan lagi sekarang," bisik Jongin. "Bukankah itu yang terbaik untuknya?"

Sehun menggeleng, tidak tahu harus menjawab apa. Rasanya, semua menjadi kosong untuk Sehun. Sehun merasakan kekosongan yang amat sangat.

"Aku ... ingin mendatangi pemakamannya. Bolehkah?" tanya Jongin, hati-hati.

...

Jongin hampir memekik ketika melihat sosok di peti mati. Song Jongin. Jongin hampir berpikir jika sosok di peti mati itu dirinya, dan dia sedang mendatangi pemakamannya sendiri. Oh, bukankah itu sangat mengerikan?

Song Jongin terlihat cukup kurus dibanding dirinya. Rahanganya lebih tirus, dan ada kantung berwarna hitam cukup lebar menghiasi sisi-sisi matanya. Jongin ingin menangis, membayangkan kehidupan Song Jongin selama ini.

"Apa dia makan dengan baik?"

"Tidurnya tidak pernah nyenyak, kah?"

"Apa yang salah? Kenapa aku merasa sangat sakit melihatnya?"

"Sehun merawatnya dengan sangat baik," gumam Jongin, mengakhiri segala pemikirannya. Sehun menyambut orang-orang yang datang untuk melayat, memberikan senyumannya. Sekali lagi, Jongin melihat kebohongan yang sangat bagus di sana. Sehun berbohong dengan hebat.

"Jangan berpikiran aneh, Hun." Jongin mendesah pelan. Melihat Sehun, otaknya mendadak khawatir berlebihan. Kehilangan bukan sesuatu yang mudah, bukan?

"Kau bilang, adikmu tidak suka kau menangis, 'kan? Buat dia bangga sudah menjadi adikmu." Jongin berucap lirih, kembali menatap peti tempat Song Jongin tertidur. "Selamat jalan, Song Jongin. Kuharap Bapa akan menjagamu dengan baik di atas sana. Aku tahu, kau anak yang hebat. Kau hebat sudah melewati semua kesakitanmu selama ini. Aku akan berdoa agar Bapa memaafkan segala kesalahan dan melihat kebaikanmu saja." Jongin menghela napas pelan. "Selamat jalan," bisiknya lagi.

...

TBC

ѕωєєт єηєму •√Where stories live. Discover now