-5-

2.3K 291 5
                                    

Rumah? Apa kami masih memilikinya?

Song Sehun

...

Jongin mengerjapkan matanya tiga kali. Sehun sedari tadi sibuk memakaikan seragam di tubuh Jongin, seragam yang sama dengan milik lelaki itu. Sepertinya, Sehun akan membawa Jongin ke sekolah.

Kemarin, Jongin sempat mendengar Sehun menelepon seseorang, meminta bantuan untuk mengurus surat kepindahan Jongin. Sejak insiden Bibi Seo, Sehun bersikap berlebihan dalam menjaga adiknya itu. Tiga hari pertama dia tidak masuk ke sekolah, memilih menemani Jongin dengan bercanda dan sesekali membantu adiknya untuk belajar berjalan juga berbicara. Lalu, hari berikutnya Sehun berdebat dengan sesorang di telepon. Sepertinya itu menyangkut Jongin juga, mengingat bagaimana Sehun berteriak marah dan berkata tidak mau pergi kemanapun tanpa Jongin. Dan, tibalah hari ini, setelah perdebatan panjang, Sehun memutuskan untuk membawa adiknya ikut ke sekolah juga.

"Hyung?" Jongin menatap Sehun yang masih sibuk memasangkan dasi, mendapati senyuman manis lelaki tersebut.

"Hari ini kita pergi ke sekolah, Jongin. Jongin akan kembali sekolah." Wajah ceria Sehun nyatanya tidak dapat menutupi kesedihan yang begitu kentara terlukis. Jongin mencoba ikut tersenyum, jika itu yang Sehun inginkan. "Jongin suka?" tanya Sehun.

"Eung, ye!" Sedikit pekikan Jongin berikan. Dia tidak sepenuhnya berbohong. Berada di rumah seharian tidak juga membuatnya mengalami banyak perubahan. Hanya ada kejenuhan karena semuanya hampir bekerja dengan sistem berulang, tidak memiliki lanjutan. Sangat membosankan.

Sehun menyisiri rambut Jongin, dia terlihat begitu perhatian. Jongin mengerjap pelan, memerhatikan wajah temannya itu dari bawah. Sekali lagi, hanya ketulusan yang terpancar dari sana. Semua perbuatan manis Sehun seolah tidak memiliki keinginan selain kebahagiaan Jongin. "Hyung." Jongin melirih, teringat pertemuannya dengan adik Sehun.

"Ada apa, hm?"

Jongin menggeleng pelan, berusaha menampilkan senyuman manisnya. Dia takut. Bagaimana jika Sehun tahu, kebahagiaan yang diharapkannya ternyata tidak akan benar-benar datang? Semuanya akan berakhir, saat tubuh Park Jongin kembali membaik. Sehun terlihat seperti bayi tiga tahun yang diberi harapan palsu, seolah akan mendapatkan banyak permen jika mau tidur tapi nyatanya hanya ada kebohongan dan Jongin ikut merasa bersalah untuknya.

"Jongin sudah tampan," gumam Sehun, membenarkan kerah baju adiknya. Tangannya bergerak mengambil notebook yang sudah diikatkan pada tali, beserta bolpoinnya ia kalungkan ke leher Jongin. Lalu, sesuatu yang terlihat seperti remote kecil Sehun masukan ke saku Jongin. "Ini, bawa ini. Jongin bisa menulis jika membutuhkan sesuatu. Dan ini, tekan saat kamu membutuhkan Hyung, paham?"

"Eung," balas Jongin pendek.

"Jongin harus bilang semuanya pada Hyung. Kalau ada yang mengganggu, langsung katakan pada Hyung. Jangan menyimpannya sendiri, paham?"

"Eung." Jongin mengangguk kecil. Dia tersenyum, menampilkan deretan giginya. Sehun terlalu berlebihan, pikirnya.

Sehun berdiri, mendorong kursi roda Jongin pelan. Mereka akan sarapan, lalu pergi ke sekolah diantar Paman Lim. Sehun tidak mau kecolongan dua kali. Walau tidak bisa sepenuhnya, paling tidak dia masih bisa memberikan pengawasan jika Jongin pergi ke sekolah juga.

...

"Aakkhh! Yee, Yong, Hyung, eeelll, eung, dda, ish!" Jongin mendengkus di akhir. Dia mencebikkan bibir, menyerah untuk mengucapkan lebih banyak kata. Lidahnya terasa sangat kaku, entah berapa lama tidak pernah digunakan. Matanya bergerak, menatap Sehun yang fokus pada layar ponsel. "Hyung!" Setengah memekik, dia memanggil.

ѕωєєт єηєму •√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang