-7-

2K 269 12
                                    

Ayah ....

Park Jongin

...

Tubuh itu masih sama, terbujur di atas ranjang dengan alat-alat medis menghiasi. Suara mesin EKG menjadi paduan suara yang cukup melegakan, paling tidak tubuh tersebut tidak menunjukkan kemunduran pada kinerja jantungnya. Jongin di sana, seperti orang yang memgalami perang paling berat. Dokter bilang, keadaan Jongin cukup membaik, tapi, trauma yang dialami karena kecelakaan tersebut membuatnya belum membuka mata sampai sekarang. Sarafnya mengalami trauma, membuat Jongin enggan menyapa dunia.

Jongin di sana, dengan seseorang yang setia berdiri di sampingnya. Jongin di sana, dan seandainya ia tahu, Jongin tidak pernah sendirian di ruangan itu. "Buka matamu, Sayang. Ibu minta maaf. Ibu minta maaf." Bersama dengan iringan penyesalan yang tidak akan terdengar selama Jongin masih enggan membuka matanya.

"Ibu menyayangimu. Kenapa Jongin tidak membuka mata juga, hm? Ayo bangun." Wanita paruh baya itu menggenggam erat tangan Jongin, berusaha mengalirkan rasa sesalnya selama ini. Terlalu sibuk dan mengabaikan satu-satunya buah hati yang ada, penyesalan terbesar keluarga Park. "Apa memaafkan kami terlalu sulit, Jongin?" lirih Nyonya Park. Melihat putranya dengan alat-alat medis menempeli tubuh, ibu mana yang kuat? Nyonya Park juga serapuh itu saat ini, mengetahui keadaan putranya yang berada di ambang kematian. Bahkan, ketika dokter mengatakan keadaan Jongin dikatakan cukup baik, itu tidak menutupi fakta jika putranya belum membuka mata sampai sekarang. Terlalu menyakitkan.

...

"Hyung? Mana?" Jongin mengerjap-ngerjap lucu, mengerucutkan bibirnya saat Sehun tidak memberikan jawaban. Aish! Kenapa Sehun menjadi sok sibuk, sih? Jongin 'kan ingin banyak bertanya, bukannya didiamkan seperti sekarang.

Kalau diingat-ingat, Jongin menjadi lebih cerewet hanya saat dengan Sehun. Dia hampir tidak pernah berbicara dengan teman sekelas, jika bukan untuk sesuatu yang penting. Jongin itu suka mencari perhatian, tapi tidak suka jika perhatian yang didapatnya terlalu banyak. Definisi aneh yang sebenarnya bisa diberikan pada Jongin tanpa perlu perantara.

"Hyung!" rengek Jongin lagi, kali ini dia bahkan menarik-narik ujung kaos yang Sehun kenakan. Sehun mengajaknya keluar jalan-jalan karena sekarang akhir pekan, dan dia tidak diberitahu sama sekali tujuan mereka nanti. Tidak adil, pikir Jongin. Sehun itu menyebalkan kalau sudah sok misterius. "Hyung, mau mana?" Entah untuk yang keberapa kalinya Jongin merengek. Dia tidak ingin berhenti sebelum Sehun memberikan jawaban pasti.

"Sebentar, Jongin. Jangan menarik-narik kaos Hyung. Kenapa kau menjadi tidak sabaran, hm?" Jongin mengerucutkan bibirnya saat mendengar ucapan Sehun. "Merajuk, eoh?" Jongin berusaha melepaskan tangan Sehun yang menjepit bibirnya dengan jari. Sialan sekali. Kalau bibir Jongin semakin penuh setelah ini, semua salah Sehun! Jongin akan marah nanti.

"Hyung, pelgi mana?" tanya Jongin, dia tidak akan bosan merecoki Sehun.

Ah ya, Jongin sudah bisa bicara lancar sekarang, walau beberapa huruf masih terdengar cadel. Paling tidak, Sehun hanya memerlukan sedikit otaknya untuk memahami apa kalimat yang Jongin keluarkan. Itu lebih baik dibanding bahasa yang mirip racauan bayi, pikirnya.

"Kita akan ke tempat yang bagus," jawab Sehun sekenanya. Dia memang selalu seperti itu, tidak menjawab pertanyaan Jongin dengan gamblang. Menyebalkan. Dipikirnya, Jongin itu cenayang apa?

"Pat gus mana? Hyung!" Jongin merengek, dia berbakat menjadi perengek handal sepertinya. "Mam-mam?" tanyanya antusias. Oh, salahkan Sehun yang selalu mengajak Jongin ke restoran atau kafe terkenal ketika mengatakan tempat bagus, perlahan, Jongin berubah menjadi maniak makanan juga.

ѕωєєт єηєму •√Where stories live. Discover now