05. Sebuah Keputusan

Mulai dari awal
                                    

*******

Chacha memasuki kelasnya dengan lesuh. Semua teman kelasnya menatap Chacha dengan heran. Pasalnya gadis itu memakai kacamata hitam dan masker. Hal itu mengundang perhatian teman sekelasnya.

"Cha lo kenapa pakai kacamata hitam dan masker?" Chacha memutar bola matanya malas mendengar ucapan sok perhatian gadis di hadapannya.

Bukannya menjawab, Chacha langsung duduk di bangkunya menelungkupkan kepalanya di lipatan tangannya. Dan hal itu membuat Angel merasa heran. Gadis itupun ikut duduk di kursi Jessica.

"Kamu sakit ya Cha?" dada Chacha langsung sesak, matanya berkaca-kaca. Ia muak mendengar suara Angel.

"Gimana keadaan nenek kamu?" bisa Chacha lihat tubuh Jessica yang sedikit gugup. Chacha tersenyum kecut di balik maskernya. Bagaimana mungkin gadis yang selalu berpikir dewasa dan peduli dengannya menusuknya dari belakang.

"Oh ne..nenek aku baik kok." Chacha mengangguk pelan. Pusing di kepalanya semakin kerasa.

"Cha------"

"Angel lo bisa pindah nggak?" ucapan Angel terpotong begitu Jessica datang. Begitu Angel pindah Jessica langsung duduk.

"Cha kok lo ke sekolah sih." matanya berkaca-kaca melihat keadaan sahabatnya jauh dari kata baik.

"Emang Chacha kenapa Jess?." tangan Jessica mengepal mendengar suara di sampingnya.

"Lo nggak liat keadaan Chacha." intonasi suara Jessica sedikit tinggi membuat Angel terdiam.

"Kita ke uks ya." Chacha ingin menolak tapi badannya sungguh lemas. Hati dan pikirannya lagi down.

Jessica langsung menghentikan langkahnya begitu melihat Angel yang juga ikut membantu Chacha. Ia melayangkan tatapan tak suka.

"Lo nggak usah ikut biar gue aja."

"Loh kenapa? Lagian guru juga belum datang" tanya Angel heran.

"Pokoknya nggak usah." ucap Jessica sedikit membentak dan mendorong bahu Angel agar segera melepaskan tangannya dari Chacha.

Hal itu membuat Angel tersentak kaget, matanya berkaca-kaca melihat kepergian mereka berdua.

*********

Chacha mengerjapkan matanya ketika merasakan elusan di rambutnya. Ia menoleh dan mendapati Davin yang kini menatapnya dengan senyum manis. Tanpa sadar cairan bening keluar begitu saja di pelupuk matanya.

"Kepala kamu pusing ya?" ucap Davin dengan nada khawatir. Ia memajukan wajahnya dan mengecup kening Chacha dengan lembut.

"Kita ke rumah sakit ya." Davin mengusap air matanya dengan lembut. Perlakuan Davin seperti itu membuat ia semakin terisak.

"Hikss...... Hikss kenapa rasanya sesakit ini." ucap Chacha dalam hati sambil memegang dadanya yang sesak.

"Sssuuutt jangan nangis. Sakit banget ya" Davin bangkit dari duduknya dan menarik Chacha ke dalam pelukannya. Tangis gadis itu begitu pilu. Membuat Davin merasakan dadanya sesak. Ini pertama kalinya ia melihat gadisnya begitu kacau.

"Sssttt..... Tahan sebentar ya. Kita ke rumah sakit." Chacha menggelengkan kepalanya, ia mendongak menatap Davin. Ia dapat melihat pancaran kekhawatiran di mata Davin. Sanggupkah ia berpisah dengannya? Bagaimana pun adalah laki-laki pertama yang membuat ia jatuh Cinta.

"Aku mau pulang!!" lirih Chacha.

"Nggak! Kita langsung ke rumah sakit aja. Aku takut kamu kenapa-napa." Chacha pasrah saat Davin menggendongnya ke mobil.

"Pulang! Aku pengen pulang aja." Chacha menyandarkan punggungnya ke sandaran jok mobil.

"Pleasee!!!" Davin menatap Chacha sebentar, tangan kirinya menggenggam tangan Chacha, mengelus punggung tangan itu dengan lembut.

"Oke! Tapi jangan larang aku buat manggil dokter ke rumah kamu." Davin melajukan mobilnya meninggalkan area parkiran.

Sesampainya di rumah, Davin mengangkat tubuh Chacha naik ke kamarnya. Dan membaringkan gadis itu hati-hati.

"Aku telfon bunda kamu ya"

"Nggak usah Vin." Chacha menahan tangan Davin yang ingin menelepon bundanya. Ia tak ingin membuat bundanya khawatir apalagi beliau sedang di luar kota menemani ayahnya.

Davin mengangguk mengerti kemudian menelepon dokter. Tak lama dokter datang pun datang di antar oleh mbak Lala.

"Gimana keadaannya dok?" tanya Davin setelah melihat dokter itu selesai memeriksa keadaan Chacha.

"Chacha hanya kelelahan dan mag nya kambuh." Davin mengelus pipi Chacha yang sedang memejamkan matanya.

"Jangan kebanyakan nangis ya nak. Kalo ada masalah di selesaiin baik-baik biar nggak jadi beban pikiran." Chacha hanya menganggukkan kepalanya mendengar ucapan sang dokter.

"Tebus obatnya di apotek ya." Dokter itu memberikan kertas yang berisi resep obat yang akan Chacha konsumsi sebelum pamit untuk pulang.

Setelah mengantar sang dokter keluar Davin menghampiri Chacha dan duduk di pinggir ranjangnya. Tangannya terangkat memijit pelan kepala sang gadis.

"Kamu lagi ada masalah ya." bukannya menjawab Chacha malah memeluknya membenamkan wajahnya di pinggang Davin.

"Kenapa hmmm?"

"Nggak papa pengen peluk aja." lirih Chacha. Dadanya kembali sesak, dirinya harus melepaskan orang yang begitu ia cintai. Keputusannya sudah bulat, tapi sanggupkah ia? Davin adalah laki-laki pertama yang mengenalkannya apa itu Cinta. Laki-laki yang selalu punya caranya sendiri agar ia selalu senang. Bahkan laki-laki itu pun tak pernah membentaknya walaupun ia melakukan kesalahan. Tapi laki-laki itu juga yang menjadi patah hati terbesarnya.

"Kamu nangis lagi ya?" tanya Davin saat merasakan bajunya basah dan tubuh Chacha yang bergetar.

"Sayang kalo ada masalah selesaiin baik-baik."

"Peluk, aku pengen peluk kamu." ucap Chacha di sela-sela ucapannya. Davin membaringkan tubuhnya di samping Chacha dan menarik gadisnya ke dalam pelukannya. Davin tahu gadis itu butuh waktu, mungkin belum saatnya.

Tiba-tiba rasa takut menyerangnya, ia tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika Chacha mengetahuinya selingkuh. Ya Davin salah, harusnya ia tak melakukan itu. Ia melukai dua hati secera bersamaan.












Jangan lupa vote dan comment ya!!

NATHANIEL (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang