Part 16

283 103 68
                                    


Sudah beberapa hari ini Aluna tidak datang latihan, bahkan dia juga tidak menemui Chiko yang beberapa kali memanggil dirinya. Hingga akhirnya Chiko sendiri yang datang ke kelas Aluna untuk menemuinya.

Chiko melihat Aluna sedang menulis di buku besarnya yang dia yakini itu adalah buku jurnal. Dia pun berjalan mendekati Aluna dan duduk tepat di samping gadis itu.

“Lo gak ke kantin, Lun?” tanya Chiko sekedar basa-basi untuk memulai percakapan dengan gadis itu.

Aluna menoleh sebentar ke samping. “Eh, Kak Chiko,” ujarnya lalu kembali sibuk dengan kegiatannya. “Enggak, lagi banyak tugas, nih, Kak.” ujar Aluna tanpa melihat orang di sebelahnya. Aluna tahu kenapa Chiko menemuinya, tentu saja karena dia bolos latihan.

Chiko mengangguk mengerti. “Jadi sekarang ceritanya lo sibuk ya, Lun?”
“Iya, Kak.”

“Terus, kapan gue bisa ngomong samo lo, Lun?” tanya Chiko dengan tatapan serius. “Pulang sekolah bisa?” tanyanya kembali.

Aluna bergeming sejenak. Dia tahu seharusnya dia tak boleh menggantung bandnya Chiko sedangkan band itu diperlukan dan tak punya waktu lagi untuk menunda-nunda latihan.

Akan tetapi bagaimana mungkin dia bisa mengatakannya pada Chiko kalo dia sangat ragu untuk latihan secara Adan tak menginginkan dia ada. Entahlah, Aluna sebenarnya ingin mengundurkan dirinya saja tetapi di satu sisi dia memikirkan nilainya.

“Gue tahu lo sibuk, Lun karena Ridho tiba-tiba memilih lo buat jadi sekretarisnya di OSIS, Gue juga tau lo gak bisa nolak dan gue juga tahu kalo lo pasti bingung ngatur antara OSIS dan latihan, ‘kan? Kalo lo diem dan bingung sendiri begini gak akan menyelesaikan semuanya, Lun. Kita bicarain bareng-bareng karena kita juga mengerti posisi lo.”

Chiko berbicara lagi mengatakan apa yang dia tahu dibalik alasan Aluna yang tak mempunyai waktu untuk latihan bersama mereka.

Aluna menatap Chiko tak percaya, cowok itu bahkan tahu mengenai dirinya di OSIS. Mungkin memang itu salah satu alasan membuatnya tak ikut latihan akan tetapi alasan yang sebenarnya dia masih ragu.

Karena melihat Aluna masih saja diam Chiko pun membuka suaranya kembali. “Gue minta sama lo nanti pulang sekolah datang ke ruang musik. Kita bicarain semuanya di sana!” Setelah mengatakan itu,  Chiko pun bangkit dan berjalan keluar dari kelas Aluna.

Aluna memejamkan matanya seraya menundukkan kepalanya kebawah. Aluna  menghembuskan napasnya panjang, dia benar-benar bingung apa yang harus dilakukannya sekarang.

“Lo kenapa?”

Aluna tersentak lalu refleks mengangkat wajahnya dan menatap orang yg sudah duduk di sampingnya. Dia adalah Nando. Entah sudah berapa kali cowok ini muncul secara tiba-tiba di hadapannya. “Sejak kapan lo masuk?”

“Lo kenapa? Lo ada masalah?” tanya Nando mengabaikan pertanyaan Aluna sebelumnya.

Aluna menggelengkan kepalanya. “Enggak, ah. Gue cuma pusing mikirin tugas. Belum lagi gue harus ngurusin OSIS!” kata Aluna mengadu pada sahabatnya itu.

Nando tersenyum mengerti dengan kelelahan yang dirasakan Aluna. Tangannya pun terangkat mengusap rambut Aluna. “Semangat, ya, Lun. Gue sebenarnya gak suka lihat lo capek kaya gini. Tapi setap lo merasa capek, gue selalu siap jadi tempat lo untuk bersitirahat, Lun.”

Aluna tersenyum seraya membalas tatapan Nando dengan lekat. Dia sangat suka saat Nando berbicara seperti ini padanya. Desiran hangat itu kembali menjalar ke seluruh tubuhnya. Terkadang dia tak ingin berlebihan tetapi bagaimana dia bisa mnegendalikan pesaraannya jika Nando selalu bersikap begini padanya.

“Iya, nanti kalo gue capek, gue gangguin lo aja,” kata Aluna seraya tertawa pelan.
Nando pun ikut tertawa. “Iya, gue seneng, kok, diganggu sama lo.”
“Aneh.” Aluna menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Oh, iya, nih, gue beli makanan tadi di kantin,” kata Nando seraya memberikan kantong plastik berwarna putih pada Aluna yang dibawanya tadi dan dia letakkan dia atas meja. “Gue tahu lo belum makan pasti.” Nando melanjutkan ucapannya lagi.

“Makasih,” ujar Aluna tersenyum senang sambil membuka tempat makan yang berada di dalam kantong plastik yang diberikan Nando.

“Lo udah makan?” tanya Aluna sembari memasukkan sesendok nasi itu ke dalam mulutnya.

Nando tersenyum melihat Aluna makan begitu dengan lahap. “Gue kenyang kalo lo kenyang, Lun.”

“Benci gue dengernya. Gak ada istilah kaya gitu!” kata Aluna lalu menyodorkan tempat makannya pada Nando. “Nih, lo ikut makan sekalian suapin gue!” kata Aluna lagi.

“Dih, manja banget lo. Bilang aja lo ketagihan karena pernah gue suapin, kan?” goda Nando membuat Aluna memutar kedua bola matanya.

“Lo suudzon banget jadi manusia. “ Aluna menghela napasnya sejenak. “Maksud gue itu lo nyuapin gue biar gue bisa sekalian nulis ini jurnal. Bu Rani minta hari ini selesai soalnya.”

“Tugas kalian?” tanya Nando mengerutkan dahinya.

Aluna menggeleng. “Enggak. Ini buat praktikum anak kelas 10 kayanya.”
Mendengar itu Nando pun langsung mengambil alih sendok dan menyuapi gadis itu makan. Ya, setidaknya inilah yang bisa dia lakukan untuk membantu Aluna.

Aluna [SUDAH TERBIT]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt