Part 33

93 40 8
                                    

Happy reading❤

Kedua pertandingan sudah berlangsung secara serentak sejak lima belas menit yang lalu.  Namun,  hanya di lapangan sekolah yang tampak ramai karena di aula untuk penonton sangat dibatasi.

Kini Ridho sedang berada di dalam aula menyaksikan pertandingan pengerjaan resep antar kelas. Ada tiga juri,  yakni dua guru kompetensi SMK Utomo, dan satu lagi adalah apoteker ternama yang dengan sengaja diundang sekolah dalam memeriahkan ulang tahun sekolah.

Setiap babak ada empat kelompok yang maju, dan satu kelompok beranggotakan dua orang.  Tampak setiap kelompok sedang fokus mengerjakan resep mereka masing-masing dengan penuh hati-hati dan di bawah tekanan waktu.  Karena waktu yang mereka dapatkan hanya dua puluh lima menit.

Bayangkan saja,  biasanya dalam praktikum mereka mendapatkan waktu paling sedikit satu jam dan sekarang dalam pertandingan mereka hanya mendapatkan waktu tak sampai setengah jam.

Ridho menyapu pandangannya ke seluruh penjuru ruangan,  mencari sosok yang sedari tadi tak ia lihat. Seorang gadis yang otaknya dipenuhi nama obat semua, dan mempunyai kelemahan terhadap nilainya.

Aluna Winata. Ya,  siapa lagi kalau bukan gadis itu.  Ia kira gadis itu akan memilih stay di ruangan aula karena tahu gadis itu menyukai pelajaran kejuruan mereka.  Namun ternyata tidak,  gadis itu sama sekali tak berada di dalam aula.

Pikirannya bertanya-tanya kemana gadis itu sekarang.  Mustahil jika gadis itu lebih memilih di lapangan dan menonton pertandingan memasak daripada menyaksikan pengerjaan resep sesuai dengan kemampuan otaknya.

Daripada bertanya-tanya dan tak mendapatkan jawaban apa pun,  akhirnya Ridho memilih keluar melihat apakah gadis itu ada di lapangan atau tidak. 

Entahlah,  akhir-akhir ini ia selalu merasa tak nyaman apabila tak mengetahui keberadaan Aluna. Apalagi hubungan mereka bisa dibilang tidak baik-baik saja dan itu semua karenanya.

Sesampai di lapangan,  ia menyapu sekitar dengan lekat.  Memperhatikan lamat-lamat setiap siswi perempuan yang mengenakan jas osis mereka. Namun,  ia sama sekali tak juga menemukan gadis itu.

Ridho tampak berpikir. Ingatan tentang Aluna keluar dari perpustakaan saat ia mencarinya ke mana-mana pun terlintas. “Apa dia di perpus?” batinnya bertanya.

Sedetik kemudian,  Ridho menggeleng pelan.  Tidak mungkin Aluna di sana,  karena perpustakaan sekolah mereka hari ini tutup.

“Woi!”

Ridho tersentak karena Rafka—teman sekelasnya—mengagetinya dengan memukul pundak Ridho kencang. 

“Eh,  lo, Raf. ” Ridho memutar kedua bola matanya malas.

Rafka cengengesan seraya menunjukkan deretan giginya. “Mikirin apa,  sih, lo?

“Sok tau,  lo, kalo  gue lagi mikir.”

Rafka berdecih pelan. “Iya,  gue lupa, lo,  kan gak punya pikiran.” Ucapan Rafka membuat Ridho menatap cowok itu dengan tatapan mematikan.

Rafka menyengir ditatap seperti itu. Ia pun langsung mengalihkan topik pembicaraannya. “Oh,  iya, tumben lo gak sama sekretaris lo itu?”

“Ngapain gue sama dia?” Ridho bertanya balik.  Sebenarnya,  ia sedikit terkejut karena temannya ini menanyakan tentang Aluna. Namun,  ia tetap memasang wajah datarnya.

“Ya,  biasanya gue perhatiin lo selalu sama dia.”

Ridho menaikkan alisnya sebelah. “Lo gak punya kegiatan lain sampai harus memperhatikan gue?”

“Kagak,” jawab Rafka seraya menyengir kuda ke arah Ridho.

“Gue colok juga mata lo lama-lama.”

Rafka yang mendengar itu dari mulut Ridho pun bergedik ngeri, apalagi tatapan dingin cowok itu semakin membuat bulu kuduknya meremang.

Tak lama kemudian,  seorang gadis berambut panjang ikal datang menghampiri mereka. Tidak,  lebih tepatnya menghampiri Rafka—temannya.

“Kamu di sini ternyata. Capek aku nyariin kamu,” ujar Fika yang juga merupakan teman sekelas Ridho.

Rafka terkekeh pelan lalu mengacak rambut gadis itu pelan.  “Ya,  udah,  kamu istirahat aja dulu. Terus nanti gantian, biar aku yang nyariin kamu.”

“Biar apa coba kaya gitu?”

“Biar kamu tau,  aku gak akan pernah biarin kamu capek sendirian.”

Ridho memutar kedua bola matanya malas. “Bucin dipelihara.”

“Diem,  lo.” Rafka menjawab ketus, sedangkan Fika hanya tertawa pelan.

“Eh, Do,  lo udah putus, ya, sama pacar lo?” tanya Fika ketika mengingat ia berpapasan dengan cewek yang setahunya pacar temannya itu.

“Udah,” jawab Ridho singkat.

Fika manggut-manggut mengerti. “Pantes,” gumamnya pelan. “Tapi cepat banget, ya,  dia move on dari lo.”

“Maksud lo?” tanya Ridho tak mengerti.

“Iya,  tadi pas gue nyariin Rafka,  gue gak sengaja berpapasan sama pacar ... eh,  maksudnya mantan lo itu sama cowok.”

Ridho semakin tak mengerti. Dahinya membentuk beberapa lipatan. Bagaimana mungkin Suci bisa masuk ke sekolah mereka sedangkan mereka jelas-jelas beda sekolah.

“Di mana lo ketemu dia?”

“Di koridor kelas sepuluh,  sih. Kalo dilihat kayanya mereka mau ke belakang sekolah, deh,” balas Fika.

Ridho benar-benar tak percaya dengan apa yang dikatakan Fika barusan. Jika pun itu benar Suci,  untuk apa dia datang ke sini dan bersama cowok sekolahnya pula. Mungkinkah ia datang untuk membuat keributan dengan Aluna? Tetapi kenapa harus ke belakang sekolah?

“Lo yakin itu mantan gue?” tanya Ridho memastikan sekali lagi. Jika benar, ia yakin Aluna pasti sudah janjian dengan Suci di sana, itu sebabnya ia tak dapat melihat Aluna dari tadi.

Fika menggangguk mantap. “Iya,  mantan lo yang adik kelas kita itu kan?”

Seketika Ridho melongo dengan penuturan Fika. Jelas Fika salah orang karena ia sama sekali tak pernah pacaran dengan adik kelas mereka.

“Enggak,  gue gak pernah pacaran sama adik kelas.”

Fika geleng-geleng kepala lalu memukul lengan Ridho pelan. “Sialan lo emang.  Giliran udah putus gak lo akuin mantan.”

“Lah,  emang gak pernah.”

Fika mendecak kesal. “Terus yang selalu sama lo itu siapa? Setan?”

Ridho memutar kedua bola matanya. Lalu sedetik kemudian otaknya bergeser pada ucapan yang sama dari Rafka beberapa menit yang lalu.

Ridho membulatkan matanya. Jangan-jangan pacarnya yang dimaksud Fika adalah Aluna. sontak Ridho pun kembali membuka mulutnya bertanya pada Fika.

“Mantan gue yang lo lihat sama cowok itu tadi ... maksud lo,  sekretaris gue?”

“Nah, baru lo akuin, kan.” Fika membunyikan jentiknya lalu membuat jari telunjuknya mengarah ke Ridho.

Ridho menghela napas kasar,  tangannya mengepal geram, tak habis pikir dengan yang dilakukan Aluna. Bisa-bisanya Aluna di saat sudah bertugas menjadi panitia pun,  ia sempatkan untuk berpacaran dulu.

“Bukan pacar gue,” ketus Ridho lalu melirik Rafka dan menatapnya tajam. Tentu saja jika bukan karena cowok itu yang mengatakan hal aneh pada Fika,  gadis itu tak akan mengatakan bahwa Aluna adalah pacarnya.

Sedangkan Rafka yang paham dengan tatapan itu pun hanya menyengir dan menggaruk-garuk kepalanya ke arah Ridho.

***

Vote dan komen ya!
Kalo enggk, bisulan!

See you next chapter 🤗



Aluna [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now