22 - Pengungkapan Identitas

169 68 69
                                    

Wooyeon yang masih mempertahankan posisinya itu kelihatan cukup peka dengan sekitar. Ia segera melepaskan fokusnya dari angkasa ketika tersadar seorang tengah memperhatikannya.

"Bagaimana kalau kita saling mencari jalan untuk masalah yang kita miliki?" Lelaki itu tersenyum.

Hyora masih bergeming. Gadis itu bukan pribadi yang terbuka dengan orang lain. Setiap masalah yang dimiliki selalu ia bagi dengan Jihyuk. Namun, mengingat waktu tidak memungkinkan untuknya berbicara dengan lelaki itu terlebih karena salah satu masalah yang mengganggu pikiran Hyora juga tentang Jihyuk, perasaan Hyora menjadi sedikit lega ketika seseorang memberi ruang untuknya berbagi cerita.

"Kau tidak bisa menyampaikannya padaku?" tanya Wooyeon kemudian sengaja menyandarkan tubuh pada dinding luar restoran. "Kalau begitu, biar aku yang mengatakannya lebih dulu."

"Kita belum benar-benar mengenal dekat, tapi kau mau mengatakan semuanya padaku?" Bukannya menjawab pertanyaan Wooyeon, Hyora justru balik bertanya.

Samar-samar gadis itu melihat Wooyeon mengangguk. "Tapi aku juga bukannya baru mengenalmu. Selama mengutarakan segala yang membebani pikiran dapat membuatku lebih tenang, mengapa tidak?"

"Lalu apa yang ingin kau sampaikan? Aku akan memasang telingaku," tanggap Hyora kemudian berjalan ke arah Wooyeon seraya menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga.

"Apa kau pernah merasa sangat yakin dengan yang ingin kau lakukan, tapi tiba-tiba terhalang oleh anggapan tentang kemungkinan buruk yang mungkin terjadi?"

Kening Hyora mengerut. Gadis itu lantas mendecak. "Kau sedang menyindirku? Kejadian saat aku ingin bertemu Ayah?"

Mendapati gadis di depannya berbicara seperti itu, Wooyeon membelalakkan mata. Merasa tidak menyangka jika Hyora berpikir demikian. Lelaki bermantel cokelat tua itu jelas bukan sedang membicarakan peristiwa yang nyaris lenyap dari pikirannyaㅡkalau saja Hyora tidak membahas kembali saat ini.

"Ah, aku baru ingat kalau kau juga sama payahnya. Untuk apa aku mengatakan padamu, ya?"

"Kau meragukanku lagi."

"Memang begitu kenyataannya, 'kan?" Wooyeon mencebik kemudian memfokuskan tatapan pada wajah Hyora sambil menaikkan salah satu alis.

Dilihatnya raut wajah gadis itu menunjukkan penolakan atas apa yang sudah Wooyeon simpulkan sendiri. Hyora melipat lengannya tepat di depan dada.

"Oke, pertama kau harus menyingkirkan pikiran negatifmu tentang aku. Kedua, lupakan juga kemungkinan buruk yang sempat terbesit di otakmu. Coba kau pilih, lebih baik mana: Melepaskan semua ego untuk satu hal yang lebih baik atau mempertahankan satu ego dan membuat semuanya semakin tidak baik?"

Awalnya Wooyeon berbicara seperti itu hanya untuk memancing Hyora, membuatnya merasa kesal. Namun, ia justru termakan dengan omongannya sendiri. Semua yang dikatakan oleh Hyora seolah menjadi jawaban atas kesan yang belum lama mengetuk hati Wooyeon tentang target dan gadis itu.

"Jujur saja, kau hanya takut gagal, bukan? Tidak ada hasil yang baik jika kau terus menunda keinginanmu. Sekali kau mengabaikan kesempatan yang sudah ada di depan mata, kau akan menyesal ... seperti aku."

Hyora terkekeh pelan. Namun, begitu Wooyeon mendapati air muka gadis itu, ia jadi berpikir kembali. Apa yang Hyora lakukan saat ini juga sama dengan yang dilakukannya tempo hari? Tawa hanya menutup sebagian awan kelabu di hati gadis itu, tidak sepenuhnya karena Wooyeon bisa merasakannya.

Andai malam itu Wooyeon tidak memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama Hyora, ia tidak akan pusing memikirkan kemungkinan buruk yang akan menimpanya. Meski bagaimana pun juga, orang yang akan mendapat poin lebih banyak tetaplah Wooyeon.

FORELSKET - New Version ✔Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt