16 - Perlawanan Tiga Hati

189 90 37
                                    

Pria dengan setelan jas terlihat sibuk dengan ponsel yang ditempelkan di telinganya, sedang tangan satunya menenteng tas berwarna hitam. Tampak sibuk berbicara dengan seseorang di ujung sambungan, seperti pria karir pada umumnya. Ia sedang berdiri di tepi jalan, menunggu lampu pejalan kaki berubah menjadi hijau.

"Bagaimana kalau kita rapatkan saja? Tidak bisa hanya pendapat satu dan dua orang saja, kita semua harus ikut terlibat."

Lelaki itu melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, mengecek tanggal. "Besok aku kosong."

Ia mengangkat kepalanya kembali. Namun, tidak segera melanjutkan obrolan. Seseorang yang berada di seberang jalan berhasil menyita seluruh pandangan dan fokusnya. Ia gamam. Meski ada banyak orang di sekitarnyaㅡkarena jam kerja membuat jalanan sangat ramaiㅡpria itu dapat melihat dengan jelas siapa yang sedang berdiri di sana bersama seorang gadis yang tidak cukup dikenalnya.

Sosok gadis remaja yang sedang tertawa itu terlihat manis sekali. Terlebih dengan dress selutut berwarna toska yang dikenakannya. Ia terlihat bahagia dan pria yang sedang memandanginya itu merasa sangat bersyukur. Pria itu masih bergeming di tempatnya meski lampu pejalan kaki sudah menyala. Separuh hatinya merasa senang, separuhnya lagi ragu. Gadis itu apa benar sosok yang sedang dirindukannya? Ia mulai melangkahkan kaki untuk menghampiri mereka. Namun, rasa penasarannya harus ia tahan sebentar lagi ketika seseorang dari ujung telepon itu memanggil namanya.

"Ah, iya. Tolong sampaikan kepada yang lain kalau besok siang kita akan adakan rapat." Pria itu terlepas dari lamunannya kemudian menyimpan ponsel saat sudah selesai berbicara.

Gadis yang sejak tadi dilihatnya sudah tidak lagi ada di tempat sebelumnya. Secepat itu menghilang di antara belasanㅡmungkin puluhanㅡmanusia yang sibuk berlalu-lalang. Kesempatannya terbuang dan tidak akan ada kedua kali.

Sepanjang perjalanan, pikiran pria itu tidak tenang. Hanya memikirkan seseorang yang baru saja ia temukan. Hingga akhirnya tiba di bangunan dengan perpaduan warna abu-abu dan hitam, pria itu langsung menuju ke kamarnya.

Tangannya sibuk membuka satu per satu laci meja, bahkan lemari. Hanya untuk mencari satu barang yang disimpannya cukup lama. Potret anak kecil yang sedang bergandengan tangan dengan seorang pria terlihat dari benda yang baru ditemukannya. Ia memperhatikan garis wajah anak tersebut. Iris mata yang berwarna cokelat tua, kedua alisnya yang tebal, bibir berukuran sedang, dan hidung yang mancung. Semuanya mirip dengan gadis yang diamatinya tadi.

Hanya ada satu cara untuk memastikannya. Pria itu meraih ponselnya kemudian mengetikkan sebuah pesan yang akan dikirimkannya kepada seseorang. Memulai sebuah percakapan yang sudah lama diakhirinya.

"Aku melihat Hyora. Apa anak kita ada di Seoul sekarang?"

Ia menulis persis seperti yang dikatakan kemudian hanya memandangi sebuah foto yang masih ada di tangannya. Mengelus potret tersebut dengan jari telunjuknya.

"Kalau boleh Ayah katakan, Ayah menyesal telah melakukan hal seperti itu padamu dulu."

Pria itu menghela napasnya berat. "Rasanya Ayah ingin bertemu denganmu, dengan ibumu, dan meminta maaf atas semuanya, tapi apa mungkin?"

Sudah bertahun-tahun lamanya ia menutup diri. Berusaha bersikap abai dengan apa yang telah berlalu dan meyakinkan diri jika kebahagiaan lain sedang menunggunya. Bukan tanpa alasan pria paruh baya itu bertingkah demikian. Bukan juga sengaja menghapus memori yang terukir manis selama pertengahan usianya. Ia hanya sedang menghukum dirinya atas perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan.

Matanya terus terfokus pada benda persegi panjang yang ada di genggaman tangannya tanpa menyadari seseorang sedang mengamatinya. Berdiri di depan pintu kamar yang memang dibiarkan terbuka dan menatapnya dengan bingung, bertanya dalam hati tentang apa yang disembunyikan pria itu darinya.

FORELSKET - New Version ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang