15. Pagi?

266 40 84
                                    

Pagi menjelang begitu cepat. Selepas subuh, mereka benar-benar nggak tidur sama sekali. Cuma menonton tv sebentar, duduk bersisihan dengan tangan dari Elang yang begitu 'mulus' mengambil kesempatan, menggenggam tangan Genna. Menikmati berita-berita pagi yang tersiar di tv, sebelum pada akhirnya, dengan gugup, Genna melepas genggamannya dan bangkit berdiri untuk mandi dan menanak nasi, sementara Elang berberat hati membiarkan dia pergi. Lantas menghantarkan setiap langkah kaki Genna, dengan sebuah ukiran senyum manis malamun; yang sarat akan rasa memuja, yang membuat Genna amat gugup sebelum dia berhasil menghilang dibalik pintu kamar mandi.

Blam!

Ah...

Pipinya pasti panas, dan dia merasa malu.

Heheh.

Elang tersenyum sendiri, menopang dagunya; berharap kalau dia bisa menembus pintu kamar mandi dan melihat Genna-nya, dengan wajah yang merona selaras dengan harumanis. Atau bahkan mungkin senyum malu, yang disembunyikannya mati-matian dari balik punggungnya, yang bersandar pada pintu kamar mandi.

'Gemes.' Batin Elang, membayangkan.

Tapi sungguh sangat sial; ditengah lamunannya, dan pandangan mata di mabuk cinta dengan senyum bodoh itu yang tersungging di wajah, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan bom dari tv, dan Elang otomatis tersentak hingga tumpuan sikunya yang menyangga dagu, meleset dari paha dan membuatnya terantuk meja.

Cukup untuk membuat Elang mengaduh sakit, lantas memaki kelewat kasar kepada meja kayu itu. Yang tampaknya... sia-sia? Karena meja kayu itu adalah benda mati, dan dia sama sekali nggak menampakan rasa bersalah atau bahkan meminta maaf (yang kelewat mustahil) karena sudah membuat ngilu siku Elang.

'Dasar gila!' Mungkin barangkali, kalau mejanya hidup, itu yang akan dia katakan.

***

"Jadi dia nikah sama abang lo?"

"Hm?"

Sepasang langkah kaki terhenti disamping kursi kayu itu. Dan dengan wajah yang dingin, juga mata yang tajam; Saga Danuartha, melekatkan pandangan terhadap orang disampingnya dengan sorot penuh minat.

"Dari mana lo tau? Lo masih sering mata-matain cewek murahan itu?"

"Cewek-murahan." Ada tawa terpaksa yang dikeluarkan oleh sosok diatas kursi, sementara dia mengambil kuas yang sudah berlumur cat, untuk lanjut melukis diatas kanvas miliknya. Membuat hamparan langit cerah berawan tipis, dimana itu berlawanan kuat dengan sebuah badai besar yang menggoncang hatinya─atas kabar pernikahan tadi.

"Gue yang bikin dia jadi cewek murahan. Atau lebih tepatnya, dipandang murahan. Lo..." Netra cerah dengan warna kehijauan itu beralih memandang Saga, tanpa emosi yang jelas. Namun dibalik ketenangannya, sepertinya ada sebuah kemarahan ketika dia mengatakan dengan tajam kepada Saga, "Jangan bikin gue terus-terusan ngerasa bersalah, dengan terus manggil dia kayak gitu dihadapan gue sendiri. Dia punya nama─"

"Dan itu sebanding dengan lo yang selalu panggil abang gue bajingan, sementara lo sendiri, nggak lebih buruk dari pada sampah. Vanno."

***

Kostan sepi. Didalam kamar cuma ada Farest sama Minkyeung. Setelah sebelumnya anak-anak penghuni kost yang lain, pada berangkat kerja atau ke tempat kuliah, pagi-pagi sekali. Dengan keadaan subuh yang sangat berisik, dimana mereka dengan kompak memutuskan untuk memulangkan pacar-pacar mereka, sebelum Zaskia Hyolin, ibu-ibu yang mengelola kostan tersebut, dikabarkan akan pulang dari Surabaya dalam waktu dekat ini, dan kemungkinan besar... merazia kamar-kamar mereka.

Mengecek apakah ada yang berbuat tidak-tidak ketika dia meninggalkan rumahnya. Dan─mungkin mengusir beberapa oknum yang tidak mematuhi peraturan darinya. Bahkan jika diantaranya adalah Farest, yang sudah cukup lama tinggal disana. Dan sempat menampung dua orang asing seperti Elang, dan Minkyeung. Yang mungkin saja akan menjadi polemik besar (seperti kata Elang) andai ibu Zaskia tau, apa yang ia lakukan.

Hah!

'Sulit untuk cari tempat yang nyaman, buat tinggal cukup lama!'

Farest betah, disana. Tapi masalahnya, nasibnya untuk tetap disana justru sedang berada di ujung tanduk, sekarang.

'Hmmh!'

Dipikir-pikir...

Berpisah dari Minkyeung sebenarnya adalah ide yang baik. Cuma... Mana bisa, sih? Farest nggak setega itu bikin dia ngekost ditempat lain dengan kartu identitas, passport, dan segala macamnya, yang Minkyeung sendiri kehilangan semuanya, dan membuatnya menjadi seorang imigran gelap, yang mungkin akan gampang sekali berurusan dengan pihak berwajib.

'No, no~' Farest nggak mau itu terjadi.

Dia merasa bertanggungjawab untuk Minkyeung dan juga keselamatan gadis itu.

Dan dia, yah... 'Kayaknya harus minta tolong bantuan Elang sama Edgar,' untuk nemuin sosok bajingan itu, yang dengan tega mengambil koper milik Minkyeung dan juga barang-barangnya, setelah dia memamerkan Minkyeung dihadapan teman-temannya sebagai barang taruhan.

'Tapi siapa, yah?'

Siapa, dia?

'Gibran... Madeva?'

Ya, ya. Kalau nggak salah, orang-orang di tempat itu, memang... memanggilnya dengan nama seperti itu.

'OKE!' Farest bangkit dari kantung tidurnya, dan tersenyum semangat menatap dinding kamarnya.

'Mandi, siap-siap! Obrolin ini langsung sama Elang dan Edgar!'

'Farest, ayo semangat!'

'Demi kamu, dan... Minkyeung!'

***

Selamat pagi!!!
Pikasquirtle, 200520

TOO GOOD -ChaeKyulWhere stories live. Discover now