#1

1.1K 117 71
                                    

Arka tersenyum puas menatap pantulan dirinya yang terlihat tampan dan gagah-menurutnya-dibalut tuxedo hitam dan celana panjang berwarna senada

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Arka tersenyum puas menatap pantulan dirinya yang terlihat tampan dan gagah-menurutnya-dibalut tuxedo hitam dan celana panjang berwarna senada. Jiwa narsisnya mulai beraksi. Berpose layaknya model dengan berbagai ekspresi.

"Cakep banget emang lo, Ka. Gak ada ... obat." ucapannya sempat terjeda saat menyadari seseorang sedang memperhatikannya disertai dengan senyuman.

Menyesal, bisa-bisanya ia lupa menutup pintu kamarnya. Sesi mengagumi dirinya jadi terganggu. Mengesampingkan hal itu, ia menatap datar seorang wanita yang masih menatapnya dari depan pintu.

"Kenapa?"

Bukannya menjawab, wanita itu malah meminta izin, "Ibu boleh masuk?"

Arka hanya berdeham sebagai jawaban. Ia melepas dasi kupu-kupu dan tuxedo-nya lalu menggantungkan kembali ke tempatnya. Tidak sama sekali mempedulikan wanita yang menyebut dirinya "ibu" itu sudah masuk ke kamarnya dengan setoples kue kering yang dibawanya sedari tadi.

"Tuxedo-nya bagus, Kak Arka kelihatan keren."

Tanpa berniat untuk berterima kasih, ia malah melontarkan pertanyaan yang sama lagi, "Kenapa?"

Wanita itu menghela napas tapi tetap tersenyum. Ia meletakkan toples yang dibawanya ke atas meja belajar Arka. "Ibu tadi bikin kue, siapa tahu bisa buat camilan kalau lagi main game. Semoga suka."

Arka hanya meliriknya sekilas. "Makasih," katanya dengan cuek.

"Sama-sama. Ya sudah, Ibu turun ya?" Wanita itu turun tanpa mendengar jawaban dari Arka.

Tuxedo, kemeja putih, dan celana panjangnya sudah tergantung rapi. Ia tidak sabar menunjukkannya pada semua orang yang hadir di acara perpisahan sekolahnya besok. Arka menghela napas gusar. Baginya acara perpisahan itu bukan hanya selebrasi kelulusan mereka dari SMA tetapi juga tanda bahwa mereka akan segera bertemu dunia baru dan menutup masa remaja mereka. Ia merasa belum-bahkan mungkin tidak akan pernah-siap untuk itu.

Enggan memikirkannya terlalu lama, ia meraih ponselnya dan segera membaringkan diri di atas tempat tidurnya. Membuka aplikasi game yang paling banyak menguras memori ponselnya itu, Arka teringat setoples kue kering tadi. Ia memutuskan untuk mengambil dua keping untuk dicicipi lalu menutup toplesnya kembali.

"Ya, lumayan lah. Walaupun jelas lebih enak kue bikinan Tante Riska," komentar cowok itu, membandingkan dengan kue buatan ibu dari sahabatnya—Jevan—yang enaknya tidak perlu diragukan lagi.

Ia baru menjatuhkan pantatnya kembali ke kasur saat sebuah teriakan yang ia yakini suara papanya terdengar memekakkan. Tanpa perlu mencari tahu, Arka sudah menebak. Pasti lagi-lagi entah apa yang wanita itu lakukan dianggap salah di mata papanya. Sehingga ia kembali menjadi sasaran dari meledaknya amarah papanya.

Berkali-kali hal itu terjadi tetapi Arka tidak pernah bisa menganggapnya sebagai angin lalu. Hal itu selalu berhasil merusak moodnya. Malam ini-seperti sebelum-sebelumnya-ia memutuskan pergi dari rumah. Ia tidak mau menghadiri acara perpisahan besok dengan suasana hati yang buruk. Sayang sekali jika di acara yang penting seperti itu ia harus repot-repot memasang senyum palsu.

Love LetterWhere stories live. Discover now