The Letter #1

314 29 59
                                    

Ting tong!

Entah sudah berapa kali Arka menekan bel di depan pintu tetangga kesayangannya itu dengan tidak sabaran. Sudah lima menit ia berdiri di sana, tetapi si tuan rumah masih belum mempersilakannya masuk juga. Padahal ia tahu kalau Shilla jelas ada di dalamnya. Berkali-kali juga teleponnya diabaikan oleh si belahan jiwa. Kembali ia coba men-dial kontak Shilla, tetapi panggilannya itu hanya berakhir ditolak.

Selang beberapa detik setelahnya, terdengar suara kunci diputar, diikuti pintu yang terbuka. Arka disambut oleh Shilla dengan rambut sebahunya yang masih basah. Aroma sabun dan sampo yang sudah Arka hapal, ikut menguar saat gadis itu membuka pintu semakin lebar.

Rupanya Shilla baru selesai mandi. Pantas saja, Arka ditelantarkan di depan rumahnya begini.

"Berisik banget, tau, nggak? Bertamu apa ngajak berantem?" ketusnya.

"Ya, maap. Lo nggak bilang kalo lagi mandi."

"Dih, ngapain juga gue bilang kalo mau mandi?" sungut gadis itu lagi.

Arka menerobos masuk lalu duduk bersila di atas sofa ruang tamu Shilla. Benar-benar realisasi dari kalimat basa-basi "anggap saja rumah sendiri". Karena sudah terbiasa dengan hal itu dari dulu, Shilla jadi masa bodoh melihat tingkah manusia aneh itu. Gadis itu membiarkan pintu rumahnya tetap terbuka, kemudian berlalu menuju kamarnya.

Shilla kembali setelah mengeringkan rambutnya. Ia duduk di dekat Arka yang entah sedang menonton apa di ponselnya. Saat gadis itu ikut membuka gawainya, Arka langsung beringsut mendekat.

"Ada nggak, Cil?"

"Apaan?"

"Itu, yang kayak biasa."

"Ck, apa sih?" Shilla baru paham maksud cowok itu saat ia melihat Arka melirik benda persegi panjang yang ada di tangannya. "Oalah ... bentar gue liat dulu."

"Ada, nih." Gadis itu menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan Whatsapp status update dari kontak yang bernama "Tante Rani".

Arka menatap unggahan wanita itu dalam diam. Selalu seperti itu. Sejak beberapa bulan terakhir, pemuda itu rutin memeriksa status update seseorang yang ia kenal sebagai "Mama" itu, melalui ponsel Shilla.

Ayo, kita bongkar sedikit rahasia Arka. Si pemilik nama Ravindra itu, ternyata diam-diam menyimpan bongkahan rindu dalam lubuk hatinya yang kelu. Kalau kalian mau tahu, beberapa kali bahkan Arka sudah menuju alamat rumah ibunya yang Shilla berikan dulu. Akan tetapi, yang ia lakukan hanyalah melewat sambil memelankan kecepatan motornya yang sedang melaju.

Sebut saja Arka pengecut, karena memang begitu adanya. Laki-laki itu rindu. Ia ingin bertemu sang ibu. Ia ingin, seandainya diperbolehkan, memeluk wanita itu dan menangis dalam rengkuhannya. Namun, di sisi lain, ia juga merasa belum siap. Lukanya di masa lalu seakan kembali terkoyak saat ia bahkan hanya membayangkan semua itu. Yang lebih parah, ketakutan akan kembali menyakiti wanita itu seolah menghantui Arka dan memenjarakan dirinyanya dalam ketidakberdayaan.

Shilla yang melihat pemuda itu hanya memendam harapan, sering kali dibuat geram. Padahal, nomor ponsel ibunya itu sudah Arka simpan, tetapi sebuah sapaan pun tak pernah terkirim pada ponsel wanita itu yang ada di seberang. Ia lebih memilih untuk mengetahui kabar beliau melalui Shilla.

Sebagai orang yang mengetahui hampir semua masalah Arka dengan orang tuanya, Shilla berusaha mengerti keadaannya. Ia memilih menjadi orang yang merelakan bahunya untuk tempat laki-laki itu bersandar. Shilla tahu, pada dasarnya hanya diri kita sendirilah yang mampu mengobati luka dalam hati kita. Maka dari itu, ia memilih membiarkan Arka sembuh dengan sendirinya. Padahal ia bisa saja memaksa cowok itu untuk menemui ibu kandungnya, bersikap baik pada Kyra, berlaku sopan pada ibu tirinya, atau bahkan berdamai dengan ayahnya.

Love LetterWhere stories live. Discover now