Jevano Reynanda Harris

984 137 35
                                    

Ucapan terima kasih selalu menjadi hal membuat Jevan merasa keberadaannya di dunia ini adalah sesuatu yang berharga

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ucapan terima kasih selalu menjadi hal membuat Jevan merasa keberadaannya di dunia ini adalah sesuatu yang berharga. Tentu saja itu nomor dua. Yang pertama tetap kasih sayang orang tuanya yang selalu menjadikan dirinya prioritas nomor satu mereka.

Jevan pernah jatuh. Hidupnya pernah diselimuti musim dingin yang gelap dan menyesakkan. Membekukan hampir seluruh raga dan batinnya. Ia kehilangan pelita hidupnya.

Pertama kali sebuah jemari kecil menyentuh miliknya di hari pertama mereka menghirup udara yang sama, kala itu hatinya serasa ingin meledak, tak mampu menahan rasa bahagia yang hadir tiba-tiba. Saat itu Jevan yang masih berusia 10 tahun tahun, baru saja jatuh cinta untuk pertama kalinya. Pada adik kecilnya, pelita kecil yang menjadi penerang kehidupannya.

Ia bagai malaikat kecil di mata seorang Jevano. Begitu berharga hingga rasanya mengorbankan nyawa untuknya itu bukan sesuatu yang sulit. Sebesar itu rasa sayangnya. 

Mungkin ia terlalu sombong mengira dirinya yang paling menyayangi adik kecilnya itu. Karena ternyata Tuhan lebih menyayangi adiknya. Menjemputnya saat Jevan bahkan belum bisa menunjukkan betapa indahnya dunia ini. Tuhan memupuskan semangat hidup Jevan semudah meniup api lilin.

Dua minggu lamanya Jevan hidup dalam kematian. Tanpa perasaan. Tanpa arah tujuan. Mengabaikan kehidupan yang sebenarnya masih berjalan.

Hingga suatu malam ia mendengar orang tuanya menangis di depan pintu kamarnya setelah ketukan pintu kamarnya kembali ia abaikan. Jevan memutuskan untuk membuka pintunya. Tidak sanggup lagi mendengar isak pedih sang ibu.

Pelukan erat namun tetap terasa dingin merengkuh tubuh kurus Jevan yang saat itu tidak mau makan tanpa paksaan orang tuanya. Dalam pelukan itu air matanya yang sudah lama kering kembali menetes.

Ia terlalu kalut dalam lukanya tanpa membuka mata bahwa orang tuanya bahkan jauh lebih terluka dari dirinya. Bagai mercusuar menyinari malam, sedikit harapan dapat kembali Jevan rasakan.

Satu bulan setelahnya, keadaan sudah mulai membaik. Jevan sudah kembali bersekolah. Orang tuanya pun sudah kembali beraktivitas seperti biasa. Malam itu kedua orang tuanya kembali mendatangi kamar Jevan. Memeluknya erat hingga ia bisa mendengar detak jantung bundanya. Kali ini pelukan itu terasa jauh lebih hangat.

"Terima kasih, Jevan, karena tidak menyerah, karena sudah mau bertahan untuk Ayah dan Bunda. Kamu harapan kami satu-satunya."

Kalimat itu tepat mengenai perasaanya. Hatinya terguncang. Jevan merasa harus bangkit dari keterpurukannya. Ia mungkin sudah kehilangan harapannya, tetapi bukan berarti ia boleh membuat orang lain kehilangan harapan juga.

Lagi-lagi isak tangis keluar dari bibirnya. Ia bersyukur karena Tuhan menunjukkan bahwa hidupya jauh lebih berharga dari apa yang ia kira. Sejak saat itu ungkapan 'terima kasih' tidak lagi bermakna sama baginya.

Tidak ada yang benar-benar tahu perjuangan di balik kesempurnaan hidup Jevan dan orang tuanya yang kerap membuat orang lain iri. Mereka tidak tahu dan tidak perlu tahu kalau semua itu mungkin imbalan untuk kuatnya mereka bangkit dari kehancuran.

Setelah jatuh cinta pertamanya yang berakhir patah hati, Jevan kembali merasakan cinta setelah mengenal seorang gadis cantik berambut hitam legam yang menjadi tetangga sekaligus teman barunya di sekolah.

"Makasih, Jev," ucap gadis itu—yang belum genap dua jam resmi menjadi pacarnya—setelah turun dari boncengan motornya.

"Iya, Ara, sama-sama," Jevan tersenyum, masih betah menatap gadis di hadapannya.

"Udah, sana pulang," katanya sambil mengedikkan dagunya ke arah rumah Jevan yang berada tepat di seberang rumahnya.

Jevan terkekeh, "Iya, iya, aku pulang."

Ara melambaikan tangannya, menatap Jevan yang pulang sambil menuntun motornya.

Jevan tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Senyuman lebar masih setia menghiasi wajah tampan pemuda itu. Saking lebarnya, mata indahnya turut tersenyum membentuk bulan sabit. Rasanya begitu menyenangkan sampai-sampai jantungnya berpacu begitu kencang.

Baru saja ia menginjakkan kaki di halaman rumahnya, jantung Jevan yang sedang berdegup kencang seperti dipaksa untuk berhenti sesaat ketika terdengar sebuah teriakan mengejutkan dari balkon rumahnya. Hampir saja motor dalam tuntunannya roboh.

"JEVANO REYNANDA, UDAH GILA LO YA?"

Love LetterWhere stories live. Discover now