Rendy Khalil Adhitama

875 124 31
                                    

"Senyum kenapa, Ren!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Senyum kenapa, Ren!"

"Ren jangan gitu dong, gue berasa mau diterkam sama lo tau."

"Jangan galak-galak, Ren, mukanya!"

"Gak usah irit-irit kalo ngomong, Ren!"

"Oh, itu Rendy yang mukanya judes banget, ya?"

"Santai, Ren, gak usah ngegas dong."

Seandainya tiap detik yang ia habiskan untuk mendengar kalimat semacam itu bisa dirupiahkan, mungkin uang saku bulanan Rendy dari orang tuanya akan selalu utuh.

Rendy heran, mengapa orang-orang senang sekali mengomentarinya. Kalau ada alasan untuk tersenyum juga ia pasti tersenyum tanpa perlu di suruh. Lalu, apa? Terlalu irit bicara? Kalau bisa berbicara secukupnya untuk apa buang-buang energi untuk berbicara banyak-banyak?

Asal kalian tahu, Rendy juga tidak meminta Tuhan memberinya resting bitch face dan nada bicara yang terkesan 'ngegas' sekalipun ia tidak sedang marah. "Ini tuh bawaan dari lahir, tahu!" katanya setiap ia mulai muak dengan komentar orang-orang di sekitarnya. Tapi kadang ia bersyukur karena dua hal itu adalah cerminan dari ibunya yang memiliki pembawaan tidak jauh berbeda dengan dirinya. Berarti gue bukan anak pungut dari kolong jembatan atau diambil waktu hanyut di sungai, pikirnya.

Menurutnya, menjadi orang yang tidak bisa approach lebih dulu dan memiliki tampang galak itu perfect combo yang membuatnya sulit mendapatkan teman dalam artian yang benar-benar "teman", bukan sekadar saling tahu nama. Ia yakin tidak sampai seperempat dari siswa seangkatannya yang mengetahui eksistensinya di sekolah. Oke, mungkin itu sedikit berlebihan. Tapi kalaupun terbukti benar, ia tidak ambil pusing masalah itu. Toh menjadi terkenal juga bukan sesuatu yang menyenangkan baginya. 

Rendy tidak pernah ingin punya banyak teman. Ia cuma mau beberapa yang benar-benar tulus dan mau menerimanya apa adanya. Laki-laki itu berharap ia bisa memiliki teman untuk setidaknya berbagi keluh kesah.

Bertemu dengan Arka, Rayhan, dan Jevan di minggu pertamanya di SMA seperti jawaban dari harapannya selama ini. Rendy dengan dan tanpa ketiga sahabatnya itu kalau orang-orang bilang, "beda banget, kayak bukan Rendy!" Dia sih, terserah apa kata orang saja. Selama Rendy merasa nyaman maka ia enjoy-enjoy saja menjadi cerewet bahkan receh dan menyebalkan.

Rendy bukan tipe orang yang mau repot-repot mencari topik obrolan dengan orang lain. Buang-buang waktu baginya. Tapi, pengecualian jika orang itu adalah gadis yang sedang duduk sendiri di kantin fakultasnya ditemani segelas thai tea. Namanya Kiana. 

Tahu apa yang mungkin akan Rendy sesali nantinya? Fakta bahwa ia baru bisa berkenalan secara resmi dengan Kiana kurang dari sebulan yang lalu. Padahal sudah hampir dua tahun ia diam-diam mengagumi gadis berambut hitam legam itu.

Seseorang menepuk bahunya dari belakang, membuatnya terpaksa mengalihkan fokus dari gadis itu. "Woy, ngapain bengong di sini? Mau nyamperin Kia, kan?" Gadis itu—Aruna—segera meraih lengan Rendy hendak menariknya menuju meja kantin yang ditempati Kiana, tetapi Rendy lebih dulu menahannya.

"E-eh, gak usah," tolaknya. "Gue mau nitip ini aja, boleh ya?" katanya sambil menyodorkan sebuah buku yang Aruna tahu milik teman dekatnya itu.

"Ngapain lo titipin gue kalo lo bisa ngasih sendiri?" Aruna meanjutkan langkahnya sambil menarik lengan Rendy tanpa peduli manusia di belakangnya berkali-kali menghela nafas berat.

Rendy masih merutuk dalam hati karena Aruna yang sepertinya begitu gencar menjadi mak comblang antara dirinya dan Kiana saat tanpa sadar gadis yang sudah lama mengisi hatinya itu sudah ada tepat di hadapannya sambil tersenyum. Garis bawahi, tersenyum. Senyum yang membuat Rendy kembali merasakan kupu-kupu beterbangan di perutnya.

"Eh, Na, baru selesai kelas? Loh, bareng Rendy juga?"

Seketika lidah Rendy kelu. Ia masih belum terbiasa melihat Kiana tersenyum manis ke arahnya. Terlebih lagi Rendy merasa hari ini gadis itu terlihat lebih... menawan? Entahlah, aura kecantikannya seakan memancar dengan kuat. 

Sial, kenapa gue tiba-tiba buyar gini? Gumamnya dalam hati.

Love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang