28. Pertempuran

202 23 1
                                    

Chapter 28

Tanpa banyak bicara, jenderal yang baru saja turun dari kuda segera berlari ke arah Flyege.  Ia menghunuskan pedangnya pada tubuh ksatria Adthera itu.  Namun, Flyege sigap mengayunkan pedangnya menangkis serangan lawan.  Mengelak, Flyege bergerak lincah bergerak ke kiri dan ke kanan.  Ayunan pedang, panglima perang Madhappa itu sangat cepat.  Flyege kehilangan kesempatan untuk menyerang balik.  Konsentrasinya hanya mampu untuk menghindar dari serangan lawan.  Tenaga musuhnya tampak begitu prima.  Flyege yang baru saja siuman dari pingsannya harus berhadapan dengan pimpinan pasukan yang mumpuni dalam kemampuan duelnya.

Flyege terus mengelak.  Ia melompat ke atas dahan-dahan pohon.  Ilmu meringankan tubuh yang ia kuasai dengan sempurna, sangat membantu dalam duel tersebut.  Ternyata musuh pun tak tertinggal kemampuannya.  Ia juga tampak lihat mengendalikan berat tubuhnya dalam jurus tersebut.  Tak berbeda dengan Flyege, lompatan jenderal itu dari satu dahan ke dahan lainnya tampak akurat.  Duel antara keduanya berlangsung sengit dan mendebarkan. 

Pada satu titik, Flyege menapak di satu dahan pohon, dekat dengan batang.  Pimpinan pasukan Madhappa itu pun berdiri pada sebuah dahan yang tampak kokoh.  Sejenak ia diam mengatur napas.  Emosinya terkontrol baik.   Jendral itu tampak tenang, begitu pun dengan Flyege.  Kedua ahli duel dari kedua kerajaan ini, terlihat memiliki kemampuan yang sepadan.

Beberapa saat kemudian, jenderal Madhappa itu bersiap dengan serangan berikutnya.  Matanya mengecil, memicing, tak lekang menatap Flyege.  Seakan ia mencari titik kelemahan Ksatria Adthera, sahabat putri Raja Muayz itu.

Ternyata, panglima Madhappa itu mempersiapkan busurnya dengan cepat.  Serentetan bidikan susul-menyusul mengarah pada tubuh Flyege.  Flyege tersentak dengan serangan bertubi-tubi dari anak panah, jarak dekat dan cepat itu.  Beruntung, pedang adalah keahlian Putra Gimra ini.  Dengan tangkisan cepat, tangan Flyege lihai memainkan pedang.  Satu persatu anak panah itu patah dan terpental dengan pedangnya.  Panglima Madhappa itu mulai terusik emosinya.  Walau, ia tampak berusaha menguasai diri.  Merasa tak juga berhasil dengan serangan anak panahnya, Panglima Madhappa itu menghentikan serangannya.

Di balik pepohonan dekat area telaga, Flyege melihat pasukan Madhappa terus masuk dengan membawa beberapa peralatan beratnya.  Dari kayu-kayu rakit yang terlihat, tampak mereka akan membangun jembatan apung untuk menyembrangi telaga.

Flyege kembali kehilangan fokus duelnya.  Ia mengkhawatirkan Amarizc, Dzo, dan Ravenska yang terlihat sangat lemah.  Flyege mulai bertanya-tanya mengapa pasukan Adthera yang berada di Timur belum juga tiba.

Panglima kerajaan Madhappa itu tiba-tiba melompat ke arah Flyege memberikan serangan pedangnya.  Flyege terlambat menghindar.  Sayatan pedang Madhappa menyentuh bagian paha Flyege.  Darah mengalir dari sobekan di pahanya.  Beruntung ia mengenakan pakaian perang lengkap, hingga luka itu tak begitu parah.  Namun, hal itu mengganggu kuda-kuda Flyege dengan jurus meringankan tubuhnya.  Pria itu terjun ke tanah mematahkan ranting-ranting pohon yang dilaluinya.  Luka baru muncul di sekujur tubuhnya.  Benturan di tanah, membuatnya sulit untuk segera bangkit.

Flyege terjerembab, sedangkan Panglima Madhappa yang terus mengejarnya dapat mendarat dengan mulus di atas tanah. 

Panglima itu mendekati Flyege dengan langkah cepat.  Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk menghabisi nyawa lawannya yang sudah tampak lemah.  Pedang besi yang kokoh dengan ujungnya berhias permata biru itu terangkat tinggi.  Ia siap menebas leher Flyege yang tengah bersiap bangkit.

Ayunan cepat, Flyege yang baru menyadari serangan sadis jenderal Madhappa itu, berusaha menghindar.  Sebuah ayunan pedang berhasil memuncratkan darah segar dari tubuh Flyege. 

Sayatan tajam itu membuatnya terhujung dan kembali jatuh telungkup.  Dengan wajah puas, panglima itu mendekatinya.  Ia tak puas mematikan lawan hanya dengan satu sayatan.  Ia berdiri mengangkangi tubuh Flyege.  Satu tusukan penuh tenaga dengan kedua tangan segera ia daratkan ke punggung lawannya yang tak berdaya.

Pedang terhunus, cepat dan tepat di jantung.  Darah tersembur keluar dari mulut.  Flyege belum mati. Tubuhnya berbalik cepat.  Sebelum panglima Madhappa itu menghunuskan pedang, ksatria Adthera itu lebih dulu mengambil kesempatan.  Pedang panglima  jatuh ke tanah, sedang matanya masih terbelalak beradu tatap dengan mata Flyege.  Ia tak percaya pada trik Flyege yang merenggut nyawanya.  Lambat laun tubuhnya terkulai, dan Flyege menarik pedang yang terhunus ke tubuh panglima itu.

Luka di paha masih menganga.  Sedangkan luka lain di lengan, akibat ayunan pedang pimpinan pasukan Madhappa tadi, cukup besar, dan darah belum berhenti.  Flyege mencoba menutup luka dengan kain-kain seadanya.  Namun, aksinya terlambat.  Pimpinan pasukan lain yang melihat salah satu panglimanya tewas, siap membalas dendam pada Flyege. 

Dua orang dengan penuh emosi dan tenaga prima beradu pedang dengan Flyege.  Putra Gimra itu kewalahan.  Ia terdorong ke arah kayu-kayu dermaga yang sebagian telah hangus terbakar. 

Flyege seorang diri di tengah semua pasukan Madhappa yang bekerja efektif.  Dua jembatan telah menghubungkan hutan mapple tempat pasukan Madhappa tiba dan hutan pinus, jalan menuji istana Adthera.  Mereka berusaha untuk tak sedikit pun menyentuh air telaga.

Hutan pinus bergolak angin kencang menderu di dalam hutan.  Daun-daun dan ranting bergerak hebat.  Pasukan khusus dengan tubuh besar dan kekar bekerja cepat. Menggunakan tenaga prima, jurus akurat, dan keahlian menebang.  Mereka bekerja dalam tim.  Dua atau empat orang orang satu tim.  Mengikat tubuh pada pohon lalu menebangnya pelan-pelan.  Target mereka menebang semua pohon pinus.  Perlahan tapi pasti, satu persatu pohon tumbang.

Ada prajurit yang gagal mengikat diri, lalu terlempar ke telaga. Telaga bergolak, jembatan apung bergorang hebat.  Namun, selalu ada  prajurit yang dapat menggantikan prajurit lain yang gagal masuk hutan.  Pasukan Madhappa bekerja sangat rapi.

Flyege mulai kuatir akan rusaknya hutan pinus pelindung istana Adthera.  Ia tahu Ravenska dan Amarizc ada di sana bersama Dzo.  Mereka dalam bahaya.

Dari kejauhan , Flyege dapat melihat pasukan Adthera di timur mulai mendekat.  Panji-panji berkibar.  Flyege merasa harapannya bangkit.  Namun, hatinya tetap bertanya-tanya kemana pasukan Rweda yang harusnya bisa memukul pasukan yang sekarang sedang dihadapinya.

Konsentrasinya terpecah.  Kesulitan menghadapi dua prajurit terlatih dalam keadaan luka, membuatnya kewalahan.  Tubuhnya kelelahan darah masih terus mengalir dari lengannya yang terluka.  Ia makin terdesak di dermaga yang rapuh.  Saat memghindar dari serangan, kakinya menginjak kayu yang sudah terbakar.  Kayu itu patah, dan Flyege terjatuh ke telaga.

Dua prajurit tetap mengejarnya hingga tepi dermaga.  Serentan anak panah dilepaskan.  Air telaga makin memerah pekat.  Tubuh Flyege berbaur dengan jasad-jasad prajurit Madhappa.  Jasad itu terlempar oleh kayu-kayu tebangan yang dikendalikan angin.  Prajurit yang mengalahkan Flyege menunggu di tepi dermaga.  Flyege tak juga muncul ke permukaan.  Mereka tersenyum puas.

BERSAMBUNG















RAVENSKA, The Epic of Fairy Tale [TAMAT]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum