14. Jeda Sidang

192 29 0
                                    

Chapter 14

Malam ini begitu terang dengan cahaya bulan purnama di luar. Sinarnya menembus jendela kaca ruang singgasana.  Flyege siap menjawab pertanyaan terakhir Dzo tentang hidupnya pasca kematian ayahnya.  Namun, Ravenska menyela.

"Penasihat Dzo, boleh aku ijin keluar sebentar?"

"Untuk keperluan apa, Yang mulia?"

"Aku rasa aku butuh beberapa makanan yang bisa ku makan, dan air yang bisa ku minum."

"Tentu saja, Yang Mulia.  Sidang aku tunda sepuluh menit.  Kau bisa bersantai sejenak, Flyege, tapi tetap di tempatmu."  Suara Dzo  lebih tegas di ujung kalimatnya. "Aku permisi, Yang Mulia."

"Ah tidak, Dzo.  Biar aku yang pergi."

"Anda tak akan tahu di mana aku menyimpan makanan. Tunggulah di sini."

"Oh.  Baiklah"

Dzo segera meninggalkan kursinya dan tak lama ia menghilang di balik pintu di sudut kiri ruang singgasana.  Tinggallah di ruang besar itu hanya Ravenska bersama Flyege. 

Flyege diam mematung, merunduk tak bergerak.  Ravenska mulai menunjukkan rasa gelisahnya.  Ia sama sekali tak nyaman pada kebersamaannya dengan Flyege di ruang sesunyi ini.  Ruang besar itu jadi terasa begitu sesak, hingga ia memutuskan untuk keluar.

"Aku akan keluar.  Aku butuh udara segar.  Kau tetap disini, dan jangan berbuat sesuatu yang merugikan posisimu sebagai tahanan Adthera." Ravenska berdiri, bersiap terbang menuju sebuah daun jendela di atas yang terbuka.

Flyege hanya diam dan tetap merunduk.  Saat Ravenska baru saja akan mengepakkan sayap, Flyege memanggilnya dengan suara begitu tenang, lembut dan mantap.

"Ravenska ...!"

Ravenska menunda kepakan sayapnya.  Ia berhenti menoleh ke arah Flyege yang masih merunduk dengan tangan terbelenggu.

Ravenska hanya diam.  Namun, ia menolehkan badan ke arah Flyege, pertanda siap mendengarkan apa yang ingin disampaikan teman masa kecilnya itu.

"Apa Kau benar-benar ingin aku mati?!"

Ravenska tersentak mendengar pertanyaan Flyege.  Matanya melebar.  Namun, Ia merunduk menyembunyikan rasa terkejutnya.  Degup jantungnya terasa kencang.  Ia tak mengerti keadaan dirinya saat ini.  Ia ingin menangis dengan pertanyaan itu.  Apa daya air matanya tak keluar.  Amarah besar yang memuncak, menjadi tembok besar bagi kerinduannya pada sosok sahabat yang lama menghilang.  Sebuah rasa sedih yang sama sekali berbeda dengan kesedihan-kesedihan lainnya.  Ia tak mengerti.  Beruntunglah ia berwajah burung yang tertutupi bulu-bulu hitam.  Jika tidak, pasti air mukanya akan terbaca dengan mudah oleh Flyege.  Ia beruntung juga tahanan kerajaan Adthera itu tetap merunduk.  Jadi, tak dilihatnya gerak gugup sang gagak menghadapi pertanyaannya.

"Bisa Kau jawab, sebelum Dzo, kembali, Ravenska?!" Kali ini Flyege mengangkat kepalanya, menatap lurus ke arah Ravenska.

Ravenska masih bergeming.  Ini sebuah pertanyaan dilema yang tak kalah kejam, bagi kebingungannya.  Mata mereka beradu.  Sorot mata Flyege begitu menusuk dadanya, hatinya serta jantungnya.  Ia benar-benar ingin menangis.  Tergambar siluet kesedihan demi kesedihan hidupnya di masa lalu, dan dirunutkan dalam benaknya. Hingga berhenti pada satu titik.  Flyege pecundang, penyebabnya. 

Sebuah amarah dan sakit hati, kembali muncul dalam dirinya.  Kepercayaan diri sebagai ratu kembali naik.  Dibalasnya tatapan tajam Flyege, lalu dia menuruni undakan anak tangga singgasana, berdiri tepat satu  di depan Flyege.

"Kau akan mati, jika pengadilan ini memutuskan Kau bersalah pada Adthera. Terlepas niatmu baik atau buruk. Maka persiapkanlah dirimu." Ravenska menjawab mantap

"Hatimu menginginkan itu, Ravenska?!" Flyege kembali menyudutkan ratu gagak itu dengan pertanyaannya.

Napas Ravenska terhenti.  Ia merasa tatapan tajam mata Flyege dapat melihat tembus kedalam otak dan jantungnya.  Ravenska berusaha mengendalikan diri. 

"Kau kejam, Flyege !" Ravenska menatap nanar.

"Apa ubahnya denganmu, Ravenska!  Dan jawab pertanyaanku!" seru Flyege pada Ravenska.

Tiba-tiba suara pintu berbunyi.  Dzo masuk dengan mendorong sebuah troli meja.  Ada 2 rak di troli itu.  Di atas berisi buah-buahan, ikan dan kacang-kacangan.  Sedangkan di rak bawah berisi beberapa guci minuman dan teko keramik serta cangkir-cangkir teh yang unik.

"Ravenska, Kau tidak menghormati pengadilan ini.  Kembali ke tempat dudukmu!", perintah Dzo.

Ravenska masih tak mengalihkan pandangannya dari Flyege.  Matanya mengecil sinis.  Ia mencoba mengetahui apakah maksud pertanyaan Flyege sama seperti yang ia pikirkan.  Namun, ego lebih mendominasi pikirannya.   

"Masih bodoh seperti dulu.  Harapan kosongmu, membuat pikiranmu pendek," ucap Ravenska sambil berlalu meninggalkannya.

"Apa maksudmu, Putri Raja Muayz?!"  Amarah Flyege meninggi.

"Aku bilang, kembali ke tempat dudukmu, Ravenska!".  Suara Dzo meninggi.

Ravenska terbang rendah lalu duduk kembali di singgasananya.  Dzo melihat gelagat tak baik dari kedua orang di ruangan singgasana itu.  Ravenska kembali mengatur napas amarahnya.  Tidak jauh berbeda, Flyege pun wajahnya merah padam.  Tak sedikitpun diperhatikannya kata-kata Dzo. 

"Apa yang kalian bicarakan.  Aku tak suka dengan sikap bodoh kalian berdua.  Ravenska, bersikaplah dewasa.  Hidup mati Flyege tetap berpengaruh pada Adthera.  Tak ada keadilan yang bisa ditegakkan dengan amarah.  Kau Flyege, lakukan pembelaanmu sebagaimana mestinya, tidak melemah-lemahkan diri dan berputus asa.  Jadilah seorang Pahlawan Adthera ...!"

Flyege merunduk.  Keringat menetes dari keningnya.  Sedang Ravenska yang duduk di singgasananya, hanya terpaku. Pandangannya kosong ke arah jajaran lukisan megah di dinding sebelah kanan ruang itu.

"Aku tunda sidang ini hingga esok malam.   Usai makan malam. sebaiknya Kau tepat waktu dan makanlah sebelum kita memulai sidang, agar tak perlu waktu kita terjeda.  Agar semuanya bisa terlihat jelas, dan keputusan bisa segera di ambil".  Dzo membuat instruksi tajam.

"Baik, Yang terhormat, Penasihat Dzo". Hanya Flyege yang menjawab ucapan Dzo.

"Sidang sementara aku tutup", ucap Dzo.

"Bagus, Aku muak melihatnya"  ucap Ravenska.

... Bersambung.

RAVENSKA, The Epic of Fairy Tale [TAMAT]Onde histórias criam vida. Descubra agora