22. UNGKAPAN HATI

190 21 0
                                    

Chapter 22

Tiga penyihir tua dengan topi kerucut khas berwarna gelap yang terlipat di ujungnya. Mereka mengenakan jubah berwarna senada. Di tangan mereka tergenggam sebilah tongkat panjang, hampir setinggi tubuh mereka dengan kepala tongkat bentuknya yang beraneka ragam.

Mereka sedang berdiri berhadapan dengan seorang wanita. Tampak dengan anggun wanita berjubah merah marun yang di hiasi manik-manik perak di ujungnya memberikan arahan pada tiga pengihir. Ketiga penyihir tua itu pun menyimak dengan teliti setiap ucapan wanita dihadapannya. Sesekali terlihat percakapan di antara mereka, lalu muncul gurat-gurat optimisme dan semangat pada wajah-wajah mereka.

"Semua kuserahkan pada kalian. Beri tanda padaku, jika kalian telah berhasil mendapatkannya. Gagak itu hanya boleh mati di tanganku. Kalian hanya perlu menangkapnya agar ia tak bisa lolos. Aku ingin berduel dengannya, dan merasakan kenikmatan penyiksaan yang kulakukan padanya." Seringai senyum keluar dari bibir wanita itu.

"Baik, Jenderal. Kau akan mendapatkan apa yang kau mau." ucap salah satu penyihir.

"Bagus. Lakukan tugas kalian dengan baik. Bagaimana mengatur strategi memancing gagak itu keluar dari hutan?" tanya Sang Jenderal yang anggun itu

"Sudah kami siapkan, yang mulia." jawab seorang penyihir. Ia tampak seperti pimpin bagi kedua penyihir lainnya.

"Bagus. Aku percaya pada loyalitas kalian. Ini demi Madhappa. Madhappa akan berjaya seutuhnya, di atas Adthera!". Senyum sinis menyeringai pada wajah sang jenderal.

"Madhappa tak terkalahkan!". Ketiga penyihir berseru penuh semangat.

...

Dzo tengah duduk seorang diri di meja makan panjang. Makanan telah terhidang, beberapa buah-buahan, sedikit daging dan ikan-ikanan. Jambangan lilin bermata lima, apinya melambai pelan menerangi meja. Dzo menikmati makanannya seorang diri.

Baru saja Dzo menyantap beberapa suap, cahaya lilin bergetar kuat. Seakan lidah api itu hampir menjauh dari sumbu lilin. Manusia gagak terbang melintas pelan. Ia duduk di kursi tanpa sandaran, di mana ia biasa duduk.

"Kau tak menungguku, Dzo?" Ravenska menyapa ramah.

"Ah, aku kira kau sedang ... "

"Aku hanya di kamarku sejak siang tadi."

Dzo hanya diam, tetap menikmati hidangan di hadapannya.

"Aku merasa sedang tak sehat." ucap Ratu gagak itu lagi.

"Atau merasa sepi karena Flyege telah pergi?" goda Dzo dengan lirikan sekedarnya.

"Dzo, kau akan menghilangkan napsu makanku," berang Ravenska.

"Maafkan aku, Yang Mulia. Silakan makan!" Dzo memberi satu anggukan penghormatan. Ravenska pun mulai makan buah-buahan yang tersedia di depannya.

"Apa rencana kita selanjutnya yang mulia?" Dzo bertanya.

"Menurut tahananmu kemarin, ada pasukan kita yang sedang bersiap di timur. Sejujurnya aku ingin bisa melihat persiapan itu." Ravenska berucap.

"Tapi bukankan itu sulit, yang mulia?"

"Ya, aku sangat lemah jika jauh dari hutan dan istana."

"Sebaiknya kita menunggu. Mungkin Flyege akan mengabari kita. Atau aku bisa ke kota atau ke telaga untuk melihat situasi, Yang Mulia."

"Tak perlu, biar aku saja. Aku bisa bergerak lebih cepat."

"Anda harus berhati-hati."

Ravenska mengangguk, ia mulai memakan beberapa buah-buahan yang tersaji. Selanjutnya tak ada pembicaraan. Dzo dan Ravenska terhanyut dalam lamunan masing-masing. Dzo memecah kesunyian.

RAVENSKA, The Epic of Fairy Tale [TAMAT]Where stories live. Discover now