18. Pengintaian

180 28 2
                                    

Chapter 18

Dzo mengantarkan Flyege ke gerbang istana.  Ia membekali Flyege dengan roti dan air secukupnya.  Di gerbang istana, Dzo melepaskan rantai belenggu tangan dan kaki Flyege.  Telah siap seekor kuda putih yang kemarin dipakai Flyege saat tiba di istana. 

Cuaca menjelang siang itu sudah panas terik.  Tiba-tiba ada gerimis yang jatuh di sekeliling istana. 

"Mengapa ada gerimis padahal hanya ada awan putih di pagi ini.  Butiran gerimis ini begitu dingin seperti salju."  Flyege bertanya pada Dzo saat tetesan gerimis menyentuh wajahnya.

"Snowden wind."

"Ravenska?"

Dzo mengangguk

"Aku ingin menemuinya, Dzo.  Sekali lagi."

"Maaf," Dzo menggeleng "tak bisa aku ijinkan.  Perjuangkan kembali Adthera, maka kau akan dapat menemuinya."

Flyege memandang ke langit.  Di kejauhan ia melihat sesosok burung hitam keluar masuk awan.  Rintik-rintih hujan lokal terus berjatuhan.  Beberapa saat kemudian burung itu menghilang dan hujan lokal itu pun berhenti.

Ia berpamitan dengan Dzo, dan melakukan penghormatan pada wanita itu.  Setelah menaiki tunggangannya, ia segera memacu kuda putih itu meninggalkan istana.  Ada rasa amarah, rasa bersalah dan sedih yang berkecamuk dalam dirinya.  Merasa kerajaan tak lagi mengakuinya sebagai warga dan prajurit, baginya menyakitkan, namun mengetahui penderitaan Ravenska, ternyata lebih dari itu membuatnya tak kalah sakit.

Ia melewati hutan mapple, jalan setapak berkerikil, memotong aliran sungai, dan tiba di savana yang membentang indah.  Sesampai di depan hutan pinus, di akhir rute savana, ia meninggalkan kuda tunggangannya.  Begitulah yang diperintahkan Dzo, dan ia masih menghargai setiap permintaan dari Adthera, kecuali melepaskan nama itu dari hatinya.   Setelah mengikat kuda di salah satu pohon pinus, mendekatkan beberapa semak yang ia cabut dari akarnya untuk makan sang kuda, ia pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.  Memasuki hutan pinus yang tampak gelap dan menyeramkan jika dilihat dari luar.

Langkahnya gontai, kelelahan campur kesedihan.  Ia pandangi hutan pinus di sekelilingnya.  Untuknya, hutan ini tak seperti penampakan dari luar, ia begitu tenang dengan semilir angin sepoi-sepoi bertiup di antara dedaunan.  Berbeda jika ia masuk ke hutan ini bersama orang lain, saat usai perang akan kembali ke istana.  Flyege mengingatnya, seketika Hutan ini berkecamuk layaknya dilanda badai.  Ia dan prajurit lain yang memasukinya akan kembali terlempar keluar.

Hari sudah senja, rasanya ia tak mungkin melanjutkan perjalanan.  Kabut tebal akan turun, perjalanan masih sedikit lagi pergerakan matahari menuju terbenam.  Jalan yang sulit terlihat, akan membahayakan.  Flyege menghentikan langkahnya.  Hingga senja penyingsing lalu malam tiba, Ia tak mau membakar perapian, karena keberadaannya dapat terdeteksi Madhappa yang terus mengawasi hutan ini dari kejauhan. Flyege menurunkan beberapa bekal roti yang diberikan Dzo padanya, dan memakannya.  Usai menenggak minuman ia bermeditasi sejenak.

Baru beberapa saat, Flyege merasakan ada yang mengganggu konsentrasi pada duduk meditasinya.  Tiba-tiba ia berdiri cepat, karena sesuatu mengganggunya.  Hutan ini sepi, bahkan ia merasakan, binatang liar pun tak bisa melewati hutan pinus terkutuk ini.  Lalu, siapakan yang mendekat, dan mengganggu konsentrasinya untuk bermeditasi.

Mantan ksatria Adthera itu dengan sigap berdiri cepat memasang kuda-kuda, lalu ia melompat ke arah ranting-ranting pohon pinus, berpindah dari satu ranting ke ranting lainnya.  Lompatan-lompatan yang ia lakukan menuju sumber suara yang menggangu konsentrasinya.  Ia berhenti pada salah satu ranting yang tak begitu kuat dan bertengger di sana.   Kemampuan meringankan tubuh,  membuatnya tetap menggantung di ranting itu.

RAVENSKA, The Epic of Fairy Tale [TAMAT]Where stories live. Discover now