BAB 25. Titipan Bojes

3.2K 308 73
                                    

Bersama Alta dan Dinda, aku menuju rumah Bojes yang berjarak sekitar 30 km dari apartement. Tiba di sana, ketiga adik Bojes terlihat sedang mengusap-usap tubuh ayah mereka. Kekhawatiran tampak jelas menyelimuti dua anak lelaki tanggung, sert seorang gadis kecil itu.

Safia si bungsu menghampiriku, dia berkata, "Bang, Bapak ga sadar. Cuma sesekali ngigo manggil-manggil Bang Bojes."

Aku segera memeriksa kondisi Pak Ruslan, Ayah Bojes yang berusia sekitar lima puluhan tahun dan sedang menderita penyakit ginjal. Matanya membengkak, begitu juga dengan betis kakinya. Kulit tubuhnya kering, serta ada beberapa luka menganga yang kuduga akibat dia terlalu sering menggaruknya. Kudekatkan telinga ke mulutnya, terdengar desisan napas yang tidak beraturan. Dia seperti kesulitan bernapas.

Aku bertanya, "Udah di bawa ke dokter?"

Hasta, adik tertua Bojes menjawab, "Udah. Disuruh rawat inap, tapi kata perawatnya bayar dulu 25%. Kalo ga bisa bayar, disuruh cari rumah sakit lain yang mau nerima. Rumah sakit lain juga gitu. Akhirnya kita bawa pulang lagi."

Mifta, adik Hasta mengatakan, "Kita lagi nunggu Bang Bojes. Dia katanya lagi nyari duitnya dulu."

Safia si bungsu menambahkan, "Tadi Bang Bojes nelpon, katanya ga lama lagi Bang Bojes pulang." 

Mendengar ucapan adik-adik Bojes yang begitu menanti kehadirannya, aku merasa begitu iba, sekaligus bingung. Mereka tidak tahu kenyataan bahwa Bojes mungkin sedang dalam bahaya. Aku memang tidak yakin dengan apa yang sedang dialami Bojes. Namun, tetap merasa tidak tenang setelah mendengar suara tembakan dari panggilan teleponnya.

"Jes ... Bojes ... Bojes ...." Sambil merintih, Pak Ruslan mengigau.

Tak banyak bicara, Alta menggotong tubuh kurus Pak Ruslan menuju ke mobilnya. Kami pun membawanya ke rumah sakit. Selama dalam perjalanan, Pak Ruslan terus menyebut-nyebut nama Bojes. Sesekali air mata menetes dari sudut matanya. Entah bayang-bayang apa mengganggu Ayah Bojes pada saat itu. Aku hanya menduga, mungkin dia sedang merasakan suatu firasat terhadap anaknya.

Tiba di rumah sakit, Alta mengurus biaya administrasi, sedangkan aku dan adik-adik Bojes segera memindahkan Pak Ruslan ke ranjang. Kami pun mendorongnya menuju ruangan yang diarahkan oleh perawat.

Pak Ruslan tak henti terus menyebut nama Bojes. Tampak kesulitan. Namun, memaksakan diri, dia mulai membuka mata. Lalu menengok ke kanan kiri sambil memanggil-manggil, "Bojes ... Bojes ...."

Hasta berusaha menenangkannya, "Nanti Bang Bojes nyusul, Pak. Bapak diem dulu, jangan banyak gerak."

Pria yang tampak setengah sadar itu menoleh ke kiri, kemudian berteriak, "Bojeees ... Bojeees ...."

"Pak! Tenang, dong! Nanti jatuh dari ranjang!" Suster membentak karena mungkin kesal dengan sikap Pak Ruslan yang tidak bisa diam.

Tidak menghiraukan ararahan suster, Pak Ruslan berontak, dia turun dari ranjang sambil tetap berteriak, "Bojes ...."

Dengan gontai, dia melangkah menuju ranjang dorong yang dikelilingi polisi. Pak Ruslan melangkah semakin cepat. Dia terlihat begitu memaksakan diri. Entah apa yang ingin dilakukannya. Aku dan Hasta berusaha mencegah dengan menarik tangannya, tapi terus ditepisnya

Masih terus menyebut-nyebut nama Bojes, dia menerobos para polisi. "Bojes ...."

Bingung dengan apa yang sedang dilakukannya, kami hanya mengikuti.

Tak henti-henti Pak Ruslan berteriak, "Bojeees ...."

Teriakan Pak Ruslan semakin nyaring terdengar. Kini diiringi tangis yang cukup mampu membuat orang-orang di sekitar memperhatikannya. Polisi pun berusaha menyingkirkannya dari ranjang yang di atasnya terbaring tubuh seoang pemuda.

SURVIVE (Selesai ✓)Where stories live. Discover now