BAB 17. Demi Adik

3.7K 261 42
                                    

Bila orang melihat, senyum sumringah mungkin tergambar jelas di wajahku. Aku merasa puas telah berhasil mendapatkan benda yang kucari dengan usaha yang cukup keras. Cukup jauh mengikuti anjing yang berlarian ke sana kemari, hingga akhirnya dia melepaskan benda itu. Aku pun tidak membuang kesempatan, segera mengambil dan memeriksa isinya. Apakah benar itu adalah benda yang kucari? Ternyata benar, itu adalah dompet milik pria yang dicuri oleh Dinda. Aku mengenali karena di dalamnya ada foto dirinya bersama seorang perempuan. Mungkin itu istrinya.

Tiba di rumah, Alta menatap heran. "Dari mana aja? Lama banget."

"Berhasil!" seruku sambil menunjukkan dompet itu.

Tanpa terasa, ternyata waktu telah menunjukkan pukul tiga pagi. Aku tidak sadar berapa lama berkeliling kejar-kejaran dengan anjing tadi. Kaki pun mulai terasa pegal-pegalnya.

Sambil meregangkan tubuh, aku bertanya kepada Alta yang sedang duduk santai di sofa sambil menatap televisi. "Dinda gimana?"

"Tidur," jawabnya santai.

"Dia ga kenapa-kenapa?"

Alta menyampaikan. "Sampe rumah muntah. Aku kasih jamu yang biasa. Sadar sebentar ngomel-ngomel. Terus kupaksa tidur."

Duduk di sebelah Alta, aku bertanya, "Dia beneran sakau? Terus gimana ?"

Alta menyarankan, "Dia harus direhab. Kalo enggak, bisa makin kacau otaknya itu."

Diam sejenak, tiba-tiba aku teringat salah seorang Dokter di rumah sakit di tempatku bekerja. "Rehab, ya? Coba besok aku tanya Dokter Arman di rumah sakit. Gimana prosesnya itu."

"Secepatnya ditangani."

"Iya."

Esoknya, aku berangkat kerja seperti biasa. Alta menawarkan diri untuk menemani Dinda selama aku bekerja. Dia mungkin ikut khawatir, takut bila Dinda berulah lagi.

Ada kesempatan, aku menemui Dokter Arman untuk menanyakan beberapa hal berkaitan dengan narkoba, serta penanganannya. Dokter Arman merupakan salah satu pekerja medis spesialis saraf. Dia yang sering membantuku ketika ada masalah di tempat kerja. Dia juga sempat mempromosikanku dari petugas kebersihan menjadi tenaga bantuan di apotek, karena mengetahui aku sedang mengenyam pendidikan di bidang farmasi.

Aku mulai bertanya mengenai kondisi yang dialami Dinda.

Dia berkata, "Saya kira kamu sebatang kara. Baru tau punya adik."

Agar tak membuatnya bingung, aku menceritakan mengenai apa yang terjadi pada diriku dan Dinda. Termasuk ketika Dinda di adopsi, hingga masalah-masalah yang dihadapinya.

Pria berusia lima puluhan yang selalu ramah itu menimpali, "Wah, rumit sekali ternyata hidup adikmu, Amar."

"Iya, Dok. Makanya saya bingung."

"Berkaitan dengan narkoba, saya sarankan begini Amar ...."

Dokter Arman mulai menjelaskan beberapa informasi yang tidak kuketahui. Menurutnya, bila kemungkinan Dinda memang sudah memakai barang haram itu dalam jangka waktu yang lama, dia harus segera direhabilitasi. Namun, sebelumnya, Dinda harus melapor dan menyerahkan diri ke kantor polisi sebagai pemakai.

"Apa? Lapor polisi, Dok?"

Dia menerangkan, "Iya, harus itu. Kalo melapor sendiri, mungkin dia hanya akan direhabilitasi untuk menghilangkan kecanduannya. Kalo dia ditangkap, dia akan masuk penjara. Bila murni hanya pemakai, ya mungkin bisa dirujuk ke pusat rehabilitasi, tapi kalo dia terkait sindikat pengedar, maka akan diusut dan pasti akan ditindak pidana."

Mendengar informasi dari Dokter Arman, aku mendadak bingung.

Dokter Arman menambahkan. "Saran saya, sebaiknya segera lapor. Supaya tidak semakin rumit masalahnya. Berharap saja adikmu hanya direhab. Karena kalo tidak, masuk penjara tanpa penanganan medis misalnya, dia akan menderita. Sakau terus-menerus ketika berhenti mengonsumsi narkoba."

SURVIVE (Selesai ✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang