BAB 23. Masa Lalu Dinda

3.4K 299 75
                                    

Dukungan Alta dan Dinda membuatku bangkit. Aku tidak lagi berlarut-larut dalam amarah maupun kesedihan. Aku fokus belajar untuk menghadapi semester terakhir. Hingga ketika tiba waktunya ujian, segala soal dapat kujawab dengan mudah.

Ketika nilai keluar, aku pun merasa puas karena memperoleh IPK cumlaude. Semester akhir sudah terlewati. Namun, untuk menyandang gelar Sarjana, aku masih perlu menjalani sidang skripsi.

Sambil memikirkan ide skripsi, aku berjalan-jalan seorang diri di taman kota. Kuperhatikan sekeliling, cukup banyak anak-anak berkeliaran di antara lalu lalang kendaraan. Ada yang mengamen, menjajakan makanan maupun minuman, ada pula yang sekadar berkerumun dengan kawanannya. Melihat mereka, mengingatkan pada diriku yang dulu. Ketika masih kecil, aku pun melewati masa-masa hidup di jalanan.

Masih termenung sambil memandangi anak-anak jalanan, tiba-tiba terdengar suara riuh beberapa orang. Aku pun mencari sumbernya. Ketika menemukan, terlihat beberapa pria berpenampilan seperti preman. Aku melangkah mendekat, para pria itu berpakaian serba hitam, dengan tato dan beberapa tindik pada tubuhnya. Mereka mendorong-dorong seorang pemuda.

Salah seorangnya meneriaki pemuda yang tengah terpojok itu. Dari perkataannya, dia seperti sedang menagih sesuatu. "Mana barang gua! Balikin!"

"Ga ada, Bang," jawab pemuda yang terpojok.

Mungkin jawabannya terdengar tidak diharapkan, hingga tendangan mendarat di tubuhnya. "Apa lu bilang?!"

"Aduh ... ampun, Bang! Jangan, Bang. Ampun ...." Pemuda yang ditendang berteriak memohon agar tindakan terhadapnya dihentikan.

Beberapa pemuda lain turut menendang, juga memukuli pemuda yang kini tertelungkup di trotoar jalan. "Balikin atau bayar! Lu pake sendiri, ya?! Kurang ajar bener lu!"

Sama seperti yang kulakukan, orang-orang yang berlalu-lalang mulai berkerumun. Mungkin penasaran mengenai apa yang sedang terjadi.

"Nanti gua balikin. Ampun, Bang ...." Pria yang dikeroyok terus memohon ampun, meski tak dihiraukan.

"Balikin cepet! Kalo ga mau gua bikin makin babak belur!" bentak salah seorang pria sambil menoyor kepala korban.

Satu tendangan kencang membuat pemuda kurus yang tak berdaya itu semakin terlihat tersiksa. Meski banyak orang yang menyaksikan, tidak ada satu pun yang berani mendekat. Mungkin karena melihat para pelaku yang tampak begitu bengis. Ditambah ada yang memegang senjata tajam. Aku yang merasa tindakan mereka salah pun lumayan menimbang-nimbang keberanianan untuk menolong. Karena bila salah tindakan, bisa saja justru aku yang menjadi target sasaran kekerasan para preman itu. Akhirnya sama seperti pengguna jalan yang lain, aku hanya diam tanpa mampu menghentikan.

Pemuda yang menjadi korban dibiarkan tergeletak di jalan. Para preman itu pergi. Beberapa orang mulai menghampiri korban. Mereka menanyakan kondisinya. Begitu juga yang kulakukan. Segera mendekati dan membantu memeriksa luka-luka pada tubuhnya.

Saat menatap wajahnya yang berlumur darah, aku merasa mengenali pemuda itu. "Bojes?!"

Sungguh terkejut, ternyata pemuda yang dipukuli adalah Bojes.

Terlihat kepayahan ketika membuka matanya karena beberapa luka meghias di kelopak matanya, dia menatap ke arahku. "Siapa?"

"Ini Amar." Kusebutkan namaku.

"Amar?" Dia masih berusaha mengenaliku dengan menegaskan pandangan.

Bapak-bapak yang turut memeriksa kondisi Bojes bertanya, "Kamu kenal?"

"Iya, Pak. Saya kenal. Teman saya ini," jawabku.

"Ya udah bawa deh ke rumah sakit atau ke klinik. Obati itu luka-lukanya biar ga infeksi." Bapak itu menyarankan.

SURVIVE (Selesai ✓)Where stories live. Discover now