BAB 3. Saudara Tak Sekandung

4.3K 244 10
                                    

SURVIVE

BAB 3. Saudara Tak Sekandung

Perjalanan pulang menuju panti begitu hening. Hanya terdengar suara desiran dedaunan yang saling bersentuhan karena tertiup angin. Bahkan kendaraan pun tak terlihat berlalu-lalang di siang yang mendung itu.

Sejak keluar dari ruang kepala sekolah, Bu Risma hanya terdiam. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun padaku maupun Alta mengenai kesalahan kami yang terbilang cukup fatal. Meski tak berucap. Namun, rona kesedihan terlihat jelas di wajahnya.

***

Usai makan malam, seperti biasa kami belajar bersama di kamar. Panti asuhan ini memang tidak memiliki banyak ruang. Hanya terdapat satu kamar untuk Bu Risma karena hanya dia pengurus yang tinggal juga di sini--dua pengurus lainnya setiap hari pulang ke rumah masing-masing. Lalu ada dua kamar lagi untuk anak-anak panti. Di dalamnya terisi kasur kapuk tanpa ranjang serta beberapa lemari tempat menyimpan baju dan buku-buku. Kami pun tidur bersama. Hanya dipisahkan antara anak laki dan perempuan.

Ketika anak-anak lain sedang belajar bersama, aku keluar untuk menuju toilet. Saat melewati ruang tengah, terlihat Bu Risma sedang bicara dengan pengurus panti lainnya. Tak berniat menguping apa yang sedang mereka bahas, tapi aku merasa penasaran karena Bu Risma berkali-kali menyebut nama Alta. Akhirnya aku pun berdiri di balik pintu untuk mecuri dengar apa yang sedang mereka perbincangkan.

Suara Bu Nita terdengar jelas. "Pak, Boby itu kalo bicara ga main-main. Bisa jadi omongannya itu serius. Lagipula Alta ini memang keterlaluan. Di panti pun sering bikin onar."

"Iya, sih. Kalo kita belain, bisa jadi Pak Boby benar-benar menarik semua donasinya ke panti ini. Kita udah ga punya donatur lain." Bu Astri menambahkan.

"Tapi kalo dipikir ga sepenuhnya kesalahan Alta. Lagipula kalo kita mengeluarkannya dari sini. Mau ke mana anak itu?" Suara Bu Risma terdengar sedikit bergetar.

"Dia harus diberi pelajaran supaya ga bertindak semaunya sendiri terus, Bu!" tegas Bu Nita.

Sedikit mengintip dari sudut pintu, kulihat wajah Bu Risma tampak begitu kebingungan. Sesekali dia menghela napas. "Nanti saya coba bujuk Pak Boby lagi dulu."

Masih menyimak perbincangan para pengurus panti, tiba-tiba saja ada yang menyentuh bahuku.

"Hei, ngapain?" tanya Alta sambil melongok ke dalam.

"Pst ... jangan bersuara." Kuletakkan jari telunjuk ke dapan bibir untuk memberi instruksi kepada Alta supaya mengecilkan suaranya.

Dia pun lirih bertanya, "Ada apa, sih?"

"Pengurus lagi bahas kamu."

"Hmm ... paling mau ngeluarin aku dari sini. Biarin aja. Eh, keluar, yuk. Bosen di dalam mulu." Dia merespon dengan cuek sambil menarik tanganku.

***

Anak lelaki yang lebih tinggi beberapa senti dariku itu melenggang menjauhi panti. Aku pun mengikuti langkahnya yang entah hendak menuju ke mana. Dalam hati aku merasa heran, kenapa Alta bisa setenang itu setelah melakukan tindakan buruk yang mungkin dapat membahayakan anak-anak lain di panti?

"Al, mau ke mana? Nanti di cariin. Kita pulang, yuk." Aku berusaha membujuknya untuk menghentikan langkah.

"Kamu aja pulang. Sebelum diusir, sebaiknya aku pergi duluan," responnya masih begitu santai.

"Kamu mau pergi ke mana?" Aku pun semakin bingung bagaimana bereaksi atas sikap Alta yang semaunya sendiri.

"Ke mana ajalah. Udah kamu pulang aja sana."

SURVIVE (Selesai ✓)Where stories live. Discover now