17. Plester

3.3K 292 25
                                    

"A friend is like a four leaf clover, hard to find and lucky to have." - Irish Proverb

💙 Happy Reading 💙
.
.
.

Langit malam dengan purnama sebagai hiasannya adalah perpaduan yang sempurna. Ditambah dengan suasana tenang dan semilir angin membuat remaja itu betah berdiri di tempat yang disebut balkon. Angin yang berembus perlahan membelai lembut wajah anak berkacamata itu.

Terhitung sudah satu minggu ia tak datang ke sekolah dan selama itu pula Arsen selalu mampir ke rumahnya hanya untuk sekadar mengobrak-abrik dan terkadang memberi tahu soal tugas yang guru berikan selama ia absen. Sore ini juga, bahkan Arsen datang bersama dengan Sony dan Brian. Suasana kamar Daniel menjadi sangat ramai ketika dua kawan dekat Arsen itu ikut berkunjung.

Di mulai dari kegiatan mereka mengerjakan pekerjaan rumah bersama dan berakhir dengan bermain game yang ricuh. Suasananya menjadi tak jauh berbeda ketika dulu ia berkunjung ke rumah Arsen. Camilan serta minuman yang semula tersaji penuh di atas meja akhirnya habis tanpa sisa disantap oleh mereka bertiga.

Kamarnya bahkan tadi terlihat seperti kapal pecah usai mereka berlari ke sana ke mari karena tak terima kalah dari bertanding game online. Menyaksikan kerusuhan yang mereka buat, apakah Daniel marah? Tidak, anak itu bahkan merasa senang melihat mereka bertingkah konyol seperti itu. Apakah itu yang disebut dengan bahagia karena memiliki teman? Ah, entahlah. Yang jelas Daniel merasa harinya menjadi lebih baik semenjak Arsen mulai dekat dengannya.

"Niel, pinjem penggaris lo, dong."

Adalah Mattew yang menyembulkan kepala dari balik pintu kamar Daniel tanpa mengucap permisi. Anak itu langsung masuk ke dalam kamar Daniel dan menjadikan meja belajar sebagai tujuan utamanya.

Daniel yang semula asik berdiri di balkon kamarnya lantas menoleh dan menghela napas. Salah satu alasan mengapa ia selalu mengunci pintu kamarnya adalah mencegah Mattew yang suka masuk tanpa permisi. Bukannya tidak suka, tapi Daniel hanya takut jika Mattew sampai melihat rahasia kelamnya dan anak itu akan mengadukan pada kedua orangtuanya.

"Ketuk dulu kenapa, sih?" ketusnya pada Mattew yang kini sibuk mencari penggaris di meja belajar sang adik.

"Iya, iya maaf. Gue pinjem penggaris lo. Lagi urgent, nih. Penggaris gue patah tadi," ujar Mattew tak sabar.

Tak mau berdebat lebih jauh dengan sang kakak, Daniel akhirnya mengeluarkan penggaris logam dari dalam tas sekolahnya. Beruntung keadaan kakinya sudah membaik daripada awal kejadian lalu, ia sudah mampu berjalan tanpa menggunakan tongkat. Yah, meski sedikit terpincang.

"Nih," ujar Daniel sembari mengulurkan penggaris di genggamannya.

Dengan senang hati Mattew menerima alat ukur panjang tersebut. Remaja bermata sipit itu sudah hampir meninggalkan kamar sang adik, tetapi sesuatu hal menarik perhatiannya. Ia tunda langkahnya untuk keluar lantas berbalik arah menuju laci kecil di samping ranjang Daniel.

"Lo punya banyak banget plester, buat apa?" tanyanya ketika benda yang menyembul dari balik ruang laci yang terbuka itu adalah plester.

Daniel membelalakkan mata saat melihat sekotak plester yang ia simpan sebagai persediaan ketika ia melakukan 'itu'. Astaga, betapa cerobohnya ia karena lupa menutup dan mengunci rapat laci tersebut.

"Kok, lo punya plester sebanyak itu? Buat apa?" Dengan raut heran, Mattew kembali melontarkan pertanyaan serupa.

"Ya buat nutupin lukalah. Buat apa lagi? Kulit kuku gue sering mengelupas, jadi perih kalau nggak ditutup pakai plester," dusta Daniel diiringi raut seriusnya. Ia sendiri sampai kagum kenapa bisa berbohong selancar itu.

CHOICEWhere stories live. Discover now