16. Kita Teman

3.2K 334 47
                                    

💙 Happy Reading 💙

.
.
.


Pukul 07.15 WIB. Seharusnya Daniel sudah berada di sekolah dan mengikuti jam pelajaran pertama. Akan tetapi, itu tidak berlaku untuk hari ini, karena anak itu harus beristirahat di kamarnya pasca kejadian kemarin sore. Mattew melarangnya untuk pergi ke sekolah, begitu juga dengan Bi Atun. Dan Daniel sendiri tidak menolak, bahkan dengan senang hati ia lakukan karena memang ia sedang tidak berminat untuk pergi ke tempat itu. Ada sedikit rasa takut jika dia akan bertemu lagi dengan Wahyu, sebut saja ia trauma.

Niatnya untuk sekadar duduk di ranjang dan bermain dengan Kevin harus terganggu karena dering ponsel di atas nakas. Anak itu mengernyit, seumur hidup memiliki ponsel, baru kali ini ia mendapat panggilan. Biasanya ia hanya menggunakan benda pipih itu untuk bermain game, menyimak isi percakapan grup dan terkadang mengambil foto, itu pun kalau dia sedang niat. Bagi Daniel, ponsel itu hanya benda tak berguna yang kadang diperlukan.

"Ada apa?" sahutnya ketika ia mengangkat panggilan yang ternyata adalah Arsen.

"Kenapa nggak berangkat?" tanya yang di seberang.

"Nggak apa-apa, kok. Gue cuma capek aja, Kak Mattew kan juga udah kasih surat izin buat gue. Apa nggak sampai ke kelas?"

"Lo sakit?"

Daniel menggeleng, meski sebenarnya sang lawan bicara tak bisa melihat gerakannya.

"Nggak."

"Oh, oke."

"Gue—"

Kemudian, panggilan diakhiri secara sepihak oleh Arsen sebelum Daniel mengatakan maksudnya. Membuat Daniel yang awalnya ingin mengatakan sesuatu kini menghela napas. Bocah jangkung itu selalu saja bertingkah seenaknya.

Anak itu kembali fokus mengusap bulu halus kucing mungil yang kini berada di pangkuannya. Selagi tangannya bergerak membelai Kevin, pikirannya kembali pada kejadian semalam.

"Mama nyesel udah ngelahirin kamu."

Kalimat itu terus terulang di Daniel. Bahkan sekeras apa pun ia mencoba untuk lupa, semakin kental pula ingatannya tentang hal itu. Semakin ingat maka hatinya semakin sakit, karena kalimat itu meluncur langsung dari bibir wanita yang sangat dicintai dan dihormatinya.

Apakah ia setidak berguna itu hingga ibunya sendiri menyesal sudah melahirkan dia ke dunia? Bagaimana bisa seorang ibu mengatakan menyesal telah melahirkan seorang anak, padahal ia mau mengandung selama sembilan bulan lebih?

Jika memang ia menyesal, seharusnya mereka sudah membunuh Daniel dari sejak ia berada di dalam kandungan, bukan malah merawatnya hingga sebesar ini. Oh, ia lupa, mereka 'kan tidak tahu jika anak yang sudah mereka rawat dan besarkan dengan segala upaya akhirnya menjadi orang tidak berguna seperti ini.

Andai takdir bisa dibaca dan masa depan dapat diketahui lebih awal, mungkin dia tak akan bisa menghirup udara saat ini. Papa dan mamanya pasti tak akan sudi menciptakan anak seperti dia. Lucu, pikirnya.

Daniel memandang ke luar jendela yang sedari tadi terbuka dan menampakkan pemandangan langit biru yang bersih tanpa sebongkah awan. Andai ia menjadi seekor burung, mungkin dia bisa terbang ke manapun yang ia inginkan dan melakukan apa yang ia kehendaki. Kebebasan yang selama ini ia impikan.

Meeooww ....

"Astaga, Kevin!"

Lagi-lagi Daniel dibuat terkejut dengan tingkah kucing mungil itu, karena tiba-tiba hewan itu melompat ke bahunya dan mulai menjilat pipi Daniel.

CHOICEWhere stories live. Discover now