5. Keinginan untuk Hidup

2.9K 275 25
                                    

"Setiap insan punya kisahnya masing-masing. Jadi berhenti memaksakan skenariomu ke jalan hidup orang lain."
.
.

💙Happy reading💙


Bersedih hati memang boleh, menangis apalagi. Akan tetapi, semua ada batasannya, dan alangkah baik jika itu dilakukan ala kadarnya. Jika soal batasan maka inilah yang dilakukan Daniel, di pagi yang cukup cerah ini dia sudah siap dengan seragam melekat di tubuhnya.

Remaja tanggung itu menuruni anak tangga dengan senyum manis terkembang. Mudah saja untuk membuat senyum itu terpatri di bibir tipisnya, alasan sederhana menjadi sebuah alasan mengapa ia tersenyum.

Alasan utama, dia berhasil mencegah hasrat untuk melukai dirinya karena demi apapun, itu adalah sebuah rekor bagi Daniel karena berhasil menyelamatkan kulit lengannya dari bilah pisau saat ia tertekan. Mungkin di mata kalian itu adalah suatu hal yang berlebihan, atau sebut saja dengan istilah 'alay'. Tapi bagi Daniel itu adalah rekor, dia berhasil mencegah dirinya sendiri untuk melukai.

"Pagi, Bi Atun," sapa anak itu begitu melihat sang asisten rumah tangga serang menata hidangan di atas meja makan.

Wanita paruh baya itu tersenyum lembut. "Pagi, Den Daniel. Wah, tumben udah rapi banget jam segini," pujinya begitu melihat sang tuan muda sudah berpakaian rapi di saat waktu belum genap menunjukkan pukul tujuh.

"Nggak apa-apa, sih. Cuma pengen berangkat pagi aja, hehe." Kilahnya menanggapi pujian. Raut bahagia tak bisa Daniel sembunyikan dari wajah manisnya.

"Berangkat pagi atau mau bantuin satpam buka gerbang?" Bukan bi Atun yang berucap, melainkan Mattew yang baru saja menuruni tangga membalas ucapan sang adik.

Kedatangan Mattew mengubah suasana hati Daniel dalam sekejap. Percakapan dengan ayahnya semalam kembali timbul di pikiran Daniel.

"Sarapan, yuk. Mama sama Papa juga mau sarapan bareng," ajaknya lantas beranjak menuju meja makan.

Menanggapi ajakan dari sang kakak, Daniel ikut duduk di samping Mattew. Dan benar apa kata yang lebih tua, tak lama kemudian datang kedua orang tuanya yang duduk bersama mereka di meja makan.

Di mata orang lain mungkin itu adalah hal yang biasa, tapi bagi Daniel adalah hal langka melihat kedua orang tuanya sarapan bersama. Hal penting apalagi yang akan mereka katakan kali ini.

Tenang dan damai, acara sarapan berlangsung khidmat layaknya upacara pemakaman. Hanya dentingan piring dan sendok yang terdengar. Etika makan memanglah seperti itu, tapi apakah harus sesunyi ini?

"Mulai pagi ini, Daniel berangkat bareng kamu, Matt," tukas Thomas usai menyudahi sarapannya.

Daniel yang asik meneguk susu dari gelasnya lantas tersedak hingga batuk beberapa kali usai mendengar ucapan sang ayah.

"Oke," sahut Mattew santai sembari memainkan piring roti di hadapannya.

"Kenapa gitu, Pa? Aku kan punya motor sendiri, aku juga udah bikin SIM. Walaupun belum jadi," protes si bungsu tak terima.

"Mulai sekarang, motor kamu Papa sita. Semenjak kamu pegang motor sendiri, kamu jadi sering pulang malam. Tiap ditanya nggak pernah jelas alasannya," jelas Thomas yang membuat Daniel geram.

"Aku selalu pulang tepat waktu, kok. Papa aja yang nggak perhatian, cuma liat kesalahan aku, doang." Tak mau kalah, Daniel melontarkan pembelaan.

"Daniel! Yang sopan kalau bicara sama orang tua!" Reina, sang ibu, angkat bicara setelah hanya memperhatikan perbincangan antara ayah dan anak tersebut.

"Aku cuma ngomong yang sebenarnya, Ma. Nggak-"

"Cukup! Mama tuh pusing lihat kamu yang semakin ke sini semakin nggak karuan. Kamu itu pelajar, ya kewajibannya belajar. Nggak usah aneh-aneh bisa nggak, sih? Daripada pulang malam nggak jelas, lebih baik kamu diam di kamar dan belajar, perbaiki nilai kamu. Mau sampai kapan kamu punya otak pas-pasan? Jangan bikin malu," tukas Mama memotong kalimat Daniel.

CHOICEWhere stories live. Discover now