18. Tempat Asing

657 102 11
                                    

💙Happy Reading 💙
.
.

Remaja itu duduk gelisah sembari meremas ujung jaketnya. Sebenarnya, ia sudah memantapkan hati untuk melakukan tindakan ini. Namun, entah mengapa setelah tujuan ada di depan mata, ia justru sangat gugup. Saking gugupnya, tanpa sadar ia terus mengentakkan kakinya ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang cukup mengganggu.

“Lo kenapa, sih? Dari tadi gelisah gitu,” tegur Arsen yang duduk tepat di sampingnya. Bocah itu merasa risi ketika mendengar ketukan tak berirama yang dihasilkan oleh sepatu Daniel.

“Gue grogi karena ini pertama kali gue pergi ke tempat ginian,” jujur Daniel masih belum bisa mengendalikan kegelisahan.

Hal yang membuat Daniel gelisah adalah karena saat ini dia sedang duduk di bangku tunggu rumah sakit. Untuk pertama kalinya dalam hidup Daniel, dia mengunjungi psikiater. Tentu saja ini bukan atas inisiatifnya sendiri, melainkan paksaan dari bocah di sebelahnya ini.

“Lagian, apa untungnya, sih, dateng ke psikiater? Buat pastiin kalo gue beneran gila?” lanjutnya dengan mata menatap lantai.

Mendengar kalimat itu, Arsen lantas berdecak pelan. “Pergi ke psikiater bukan berarti lo gila, Niel. Kita cuma butuh sedikit bantuan, ini juga demi diri sendiri. Bukan buat orang lain,” tuturnya mencoba meyakinkan.

“Tapi ….”

Daniel menggantungkan kalimatnya, dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia merasa ucapan Arsen ada benarnya, tapi di lain sisi Daniel takut jika sampai tindakannya ini diketahui oleh ayah atau ibunya. Takut akan respons seperti apa yang akan keduanya berikan.

“Udah, nggak usah pakai tapi-tapian. Inget usaha kita kemarin buat dapet surat rujukan dari puskesmas. Jangan di sia-siain. Masuk aja sana, nama lo barusan dipanggil, tuh. Biar gue tunggu di sini,” desak Arsen tak sabar.

Pada akhirnya Daniel hanya bisa pasrah dan memasuki ruangan yang sangat asing baginya. Meninggalkan Arsen yang memang hanya bertugas mengantar.

Memakan waktu kurang dari satu jam untuk bocah berkacamata itu keluar dari ruang konsultasi dengan membawa secarik kertas. Arsen langsung mendatangi Daniel dan merebut kertas itu. Membacanya sesaat dan mengangguk.

“Kenapa? Lo paham tulisannya?” tanya Daniel dengan raut bingung.

Dengan santai Arsen menggeleng. “Tulisan dokter yang bisa baca cuma dokter dan Tuhan,” sahutnya tak acuh.

“Kalo nggak tahu, ngapain main rebut aja?! Sini balikin!” Daniel merebut kertas itu dari Arsen dan mendengkus pelan.

“Ya maaf, habisnya kepo, hehe,” balas bocah jangkung itu tanpa rasa bersalah.

Beruntung Daniel sudah mulai paham dengan tabiat Arsen. Dia juga cukup berterima kasih pada bocah itu karena mau membantunya sejauh ini.

“Gue mau nebus obat dulu, lo tunggu di parkiran aja,” pungkas Daniel tak mau berdebat lebih lanjut.

Belum sempat Arsen menjawab, bocah itu sudah lebih dulu berbalik pergi. Tersisa Arsen yang cukup terpukau dengan kesigapan Daniel. Padahal dia berpikir bahwa bocah itu tidak bisa melakukan apa-apa sendirian. Di lihat sekilas, Daniel tampak seperti tuan muda kutu buku yang tidak tahu cara bersosialisasi. Yah, ini juga salahnya, karena sudah menilai seseorang hanya dari penampilannya.

🍁🍁🍁


Waktu menunjukkan pukul tujuh malam ketika anak berkacamata itu tiba di kediaman. Jantungnya berdebar tak karuan begitu ia melangkah memasuki bangunan mewah itu. Pasalnya, dari apa yang Pak Anto bilang, ayah dan ibunya sudah tiba di rumah sejak sore tadi.

CHOICEWhere stories live. Discover now