15. Melukis

3.1K 340 55
                                    

"Lidah itu lebih tajam dari sebilah pedang, karena dia bisa membunuh tanpa menyentuh."

💙Happy Reading 💙

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

💙Happy Reading 💙
.
.
.


Baru saja mereka menginjakkan kaki ke dalam rumah, Thomas dan Reina sudah duduk di ruang tengah seakan menanti kedatangan keduanya.

"Aku yang akan jelasin semua, Ma, Pa," tukas Mattew bahkan sebelum kedua orang tua itu berucap apa pun.

"Mattew, masuk ke kamarmu dan belajar. Minggu depan kamu ada olimpiade terakhir yang harus kamu ikuti sebelum fokus ke universitas, Papa harap kamu bisa memenangkan olimpiade itu dan dapat nilai kelulusan yang memuaskan," titah Thomas pada si sulung, yang membuat Mattew bungkam seketika.

"Iya, Sayang. Lebih baik kamu mandi terus belajar, nanti biar Bi Atun yang bawa makan malam kamu ke atas," imbuh wanita cantik yang tak lain adalah ibu dari kedua bocah tersebut.

"Tapi, Pa—"

"Udahlah, Kak. Lo belajar aja, gue bisa, kok, jalan ke kamar sendiri," balas Daniel sebelum Mattew selesai mengucapkan kalimatnya. Anak itu tak mau jika Mattew ikut terkena dampak dari kesalahan yang ia perbuat.

Pada akhirnya Mattew menuruti perintah sang ayah. Dengan berat hati anak itu melenggang pergi meninggalkan ruangan tersebut dan berjalan menuju kamarnya. Menatap nanar sang adik yang mungkin akan dimarahi lagi oleh sang ayah.

"Duduk," titah Thomas pada putra bungsunya yang langsung dibalas dengan anggukan oleh si lawan bicara.

Daniel mendudukkan dirinya secara perlahan ke atas sofa yang letaknya berhadapan dengan kedua orang tuanya. Anak itu lantas meletakkan tongkat yang sedari tadi membantunya untuk berjalan.

"Daniel," panggil Thomas, membuat si empunya nama malah menundukkan kepala.

"I–iya," cicit Daniel.

"Kamu tahu apa kesalahan yang sudah kamu lakukan?" tanya Thomas dengan tatapan tajam mengarah pada Daniel.

Jangankan menjawab, Daniel bahkan tak berani untuk mengangkat kepalanya. Anak itu lebih memilih untuk bungkam tanpa tahu harus memberikan pembelaan apa.

"Daniel, jawab pertanyaan Papa. Jangan diam saja, kamu dengar 'kan yang Papa bilang barusan?" Lagi sang ayah kembali bertanya.

"Ma–maaf, Pa. Aku nggak berantem, beneran aku nggak berantem." Dengan terbata anak itu mencoba memberikan jawaban, dengan keberanian yang mulai terkumpul ia mulai mengangkat kepalanya.

"Dengan wajah babak belur dan kaki pincang seperti itu, kamu bilang nggak berantem? Jangan macam-macam kamu." Reina yang semula diam kini angkat bicara. Wanita itu agaknya tak sabar melihat tingkah Daniel yang lambat dalam menjawab pertanyaan yang suaminya berikan.

Perasaan Daniel makin tak karuan kala sang ibu ikut bicara. Ia merasa seperti sedang diinterogasi karena telah melakukan kejahatan fatal, padahal dirinya adalah korban. Mengapa ia selalu berada diposisi yang disalahkan?

CHOICEWhere stories live. Discover now