33. Sebab Dia Masih Merindukannya

8.6K 742 3
                                    

Malam itu kembali pintunya dibuka

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Malam itu kembali pintunya dibuka. Hal ini membuat Xeryn terbangun. Semenjak ia tahu Juna sering masuk ke kamar inapnya malam hari, gadis itu lebih peka. Terbukti saat ini ia sudah bangun tetapi tidak bangkit, tetap berbaring dan menutup mata. Masih mengantuk.

"Kamu tumbuh menjadi gadis yang cantik, Nak."

Suara itu ditambah usapan di kepalanya berhasil membuat Xeryn membeku dengan mata masih terpejam.

Itu bukan Juna.

Itu ayahnya.

"Maafkan Ayah tidak bisa menjadi Ayah yang baik bagimu. Apakah Andi menyayangimu, hm? Dia memang laki-laki yang baik, juga hebat," kata Gunawan.
"Apakah anaknya itu bisa menjagamu? Ayah bisa melihat dia tampan dan bisa diandalkan. Dia sangat perhatian padamu."

Tangannya terus mengusap rambut Xeryn. Hal yang membuat gadis itu merutuki sifat bodohnya karena terlalu pengecut hanya untuk mengatakan kalau dia sudah bangun. Sejak kapan Xeryn jadi penakut ini?

"Ayah menyayangimu, Sayang. Teramat sangat," ujar Gunawan membuat Xeryn tertegun untuk beberapa saat.
"Maafkan Ayah karena sudah memiliki Juna lebih dahulu sebelum kamu. Itu bukan kesalahan Juna. Itu memang salah kami. Tapi Juna bukan kesalahan. Dewasa nanti kamu akan mengerti." Tangan Gunawan berhenti mengusap.
"Jangan membencinya, Sayang. Juna adalah kakak yang baik untukmu, sama dengan kakakmu yang sekarang."

"Apakah aku harus membencimu?" tanya Xeryn berhasil membuat Gunawan tersentak kaget.

Xeryn membuka mata dan kini menatapnya. Gadis itu bangkit dari posisi berbaring, duduk di ranjang sambil terus menatap Gunawan dengan tatapan datar khasnya. Hal yang berhasil membekukan Gunawan.

"Xer-ryn."

"Selama ini aku membenci bunda teramat sangat karena kupikir bunda adalah orang yang dengan tega memilih orang lain dibandingkan ayahku sendiri sehingga membuatku terpisah denganmu," kata Xeryn dengan sesak di dadanya.
"Tapi bagaimana bisa ternyata semua berulah dari dirimu sendiri, orang yang selalu aku rindukan dan berharap bisa berjumpa?" tanya Xeryn dengan suara tertahan dan frustasinya, mencoba untuk tetap menjaga intonasi.

Gunawan terdiam, kembali merasa bersalah karena sudah membuat Xeryn menjadi sesedih ini.
"Ayah tidak bermaksud demikian, Nak. Ayah mencintai ibunya Juna jauh sebelum Ayah mengenal bundamu. Pun sama dengan bundamu yang memang memiliki kekasih, Andi, suaminya sekarang. Tapi kita terpaksa dijodohkan. Tolong mengertilah."

Xeryn mendengkus. Ia memang paham akan hal itu.
"Aku tahu akan hal itu." Gadis itu mencoba untuk tetap mengendalikan intonasinya.
"Yang aku sesalkan adalah aku membenci orang yang salah selama ini."

"Xer..."

"Sejak awal bunda tidak pernah berbuat curang akan pernikahan kalian. Kamu yang sudah melakukannya lebih dahulu hingga Juna harus ada. Harusnya aku membencimu!" ujar Xeryn dengan intonasi yang sedikit naik.
"Dosaku kepada bunda teramat banyak. Berulang kali menyakitinya dengan ucapanku sendiri. Padahal nyatanya dia pun korban akibat tindakan gilamu sendiri." Kembali ucapan menyakitkan Xeryn keluar. Hal yang berhasil menampar Gunawan. Sakit sekali rasanya.

"Maafkan aku. Maafkan Ayah, Nak." Hanya itu yang bisa ia lakukan.

"Sialnya aku masih tetap menyayangimu. Walau bagaimana pun kenyataannya, selama ini kau adalah orang yang paling aku rindukan." Air mata Xeryn menetes.
"Juna adalah orang yang baik. Aku beruntung memiliki kakak sepertinya."

Gunawan menunduk. Tak berani menyentuh anaknya yang kini tengah terisak. Selalu ia menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang telah terjadi. Xeryn tumbuh dengan kebencian kepada bundanya yang menjadi korban atas perbuatan Gunawan sendiri. Rita memang tidak bersalah. Satu-satunya kesalahan yang menjadi alasan perceraian itu adalah ia mendapati Rita tengah beradu mesra penuh kasih dengan Andi ketika ia sedang bekerja –ah sekalian menengok Juna dan Santi juga sebenarnya.

"Aku menangis." Xeryn bersuara.
"Tidakkah kamu ingin memelukku untuk menenangkanku?"

Gunawan diam sejenak, kemudian ia menjulurkan tangannya, memeluk putrinya yang selalu ia rindukan. Gunawan sangat menyayangi Xeryn, selalu berharap Xeryn akan tumbuh dengan penuh kebahagian. Tetapi nyatanya tidak. Xeryn tidak seperti itu.

"Maafkan Ayah, Nak. Ayah bersalah atas semuanya." Gunawan mengeratkan dekapannya.
"Ayah menyayangimu, Sayang. Teramat sangat, kamu tahu."

"Ayah... Ayah..."

Ah, Xeryn selalu merindukan sosok ini. Bagaimana bisa ia membencinya?

●●●
"Jadi Ayah datang semalam?"

Pertanyaan dari Juna dijawab dengan anggukan oleh Xeryn. Gadis itu tak peduli banyak ketika Juna dan Daniel saling tatap. Ia bahkan dengan cuek tetap memakan buah apelnya yang sudah teriris rapi di atas piringnya.

"Terus kalian ngomong apa aja?" Kini Daniel bertanya yang hanya ditanggapi dengan kedikan bahu oleh Xeryn.

Kembali lagi ia ke dalam mode menyebalkannya.

"Xer ..." Juna memanggilnya dengan nada rendah, berharap ia peka bahwa itu adalah peringatan.

"Jadi gue boleh keluar hari ini?" tanya Xeryn mengalihkan pembicaraan.

"Dek." Daniel memanggil.

Mereka sudah tahu jika bunda Rita sekarang tengah mengurus keperluan Xeryn untuk pulang. Jadi ini tidak perlu dijawab.

"Kita udah bahas ini lho, Xer. Harusnya lo tahu, 'kan?" Juna memperjelas.

"Oh, ya, udah."

Xeryn mengambil potongan apel terakhirnya.

Daniel dan Juna hanya mendesah, tak bisa memaksanya lebih untuk bercerita. Padahal Xeryn sendiri yang memulai membuka pembicaraan ini ketika Rita tadi pamit untuk mengurus administrasi kepulangannya, dan lihat, dia sendiri yang menggantungnya. Dasar gadis itu!

"Gue nggak buka mata saat ayah datang. Karena mikir gue udah tidur lelap, dia bicara, ya as you know, bahas tentang kesalahan di masa lalu, minta maaf, tentang lo Jun, dan ya kayak gitu." Xeryn berujar membuat Daniel dan Juna saling pandang.
"Hal-hal gitulah, kalian bisa nebak, 'kan?"

Mereka hanya mengangguk, entah apa yang mereka pikirkan, hanya saja dalam hati bertanya.

Apakah semua akan baik-baik saja sekarang?

Dibalik pintu itu, Rita diam. Kembali berdebar akan hal yang telah Xeryn ceritakan. Gunawan sudah menemui Xeryn, dia sudah berbicara dengan putrinya itu. Jadi, apakah Rita harus membiarkan mereka bertemu mulai sekarang? Sebab, seorang ibu sangat peka. Dia mengerti jika anaknya itu selalu merindukan ayahnya. Egois jika ia harus melarang Xeryn bertemu.

Ah, dia harus bagaimana?

■■■Jadi, mau kalian masih setia menunggu kelanjutannya?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

■■■
Jadi, mau kalian masih setia menunggu kelanjutannya?

Unexpected✓Where stories live. Discover now