10 : Saling Diam

2K 170 117
                                    

Jangan biarkan khayalanmu terbang terlalu tinggi. Nanti hatimu sakit, dan tidak akan ada yang mau bertanggung jawab.

| I L Y |

Kaki Ily melangkah lebar keluar dari rumah. Kondisinya terpantau mengenaskan. Seragam yang acak-acakan, bahkan dasi pun tak ia pakai. Ditariknya nafas dalam-dalam sebagai pengalihan rasa panik. Astaga, ini sungguh darurat.

Dengan cepat Ily masuk ke dalam mobil seraya menggunakan sepatunya. "Pak! Jalan!" seru Ily linglung.

Sambil mengangguk, Liam langsung mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Sementara itu, Ily di belakang sana hanya diam dengan wajah pias yang kentara sekali terlihat.

Astaga, ini sudah hampir pukul setengah delapan dan Ily pastikan bahwa bel sekolah telah berbunyi. Ah, Ily mencoba memutar otak. Bagaimana ia bisa masuk dengan selamat tanpa halangan yang menanti? Mau berpikir keras sekalipun, otak Ily hanya menemukan titik buntu. Ily menyerah.

Mobil yang dikemudikan oleh Liam seketika berhenti tepat di depan gerbang yang sudah tertutup rapat tak bercelah. Ily menatap Liam sejenak lalu ia membagikan pandangannya pada sosok pria paruh bersama dengan beberapa anak beralmamater yang begitu tegas. Semoga saja wataknya tidak setegas pangkatnya, harap Ily.

"Pak, Ily takut," cicit Ily merasa sudah tamat sekarang.

Liam menatap Ily dengan prihatin. Biar bagaimanapun ia tak bisa membantu Ily walau seujung kuku sekalipun. Ah, nona mudanya yang malang.

"Jangan takut, Ily. Semuanya akan baik-baik aja." Liam memberikan senyuman kecil berharap bisa meminimalisir rasa ketakutan Ily. Dan realitanya, itu gagal total.

"K-kita pulang aja yuk, Pak! Demi apapun Ily takut, itu pasti Pak Broto." Ily menatap horor pada pria paruh baya yang ia yakini sebagai Broto sang wakil kesiswaan langganan Amy.

Liam menghembuskan nafasnya perlahan lalu kembali tersenyum. "Nanti Papa Ily marah loh kalo beliau tau Ily bolos," ujar Liam membuat Ily langsung terdiam dalam keputus asaan.

Keduanya seketika diselimuti hening. Ily masih membisu seiring dengan memucat wajahnya yang memang ditakdirkan putih. Sekarang kulitnya sepucat mayat. Mungkin bila Ily hanya menutup matanya, ia akan dikira sudah mati.

Ketakutan yang Ily rasakan kian memuncak kala netranya tak sengaja menangkap beberapa anak yang sepernasib dengannya pagi ini. Sembari menunduk, Ily bisa merasakan denyut jantungnya yang memburu. Ia mulai membayangkan hal yang tidak-tidak.

"Ily?" Liam berusaha menarik raga Ily dari dimensi khayalnya. Ily langsung tersentak dan kembali pada kesadarannya yang sempat terengut oleh imajinasi.

"Lebih baik Ily masuk sekarang ya, nanti makin telat," ucap Liam seakan hanya itulah jalan keluar satu-satunya.

Ily menipiskan bibirnya seiring dengan kepalanya yang membentuk anggukan kecil. "I-iya, Pak. Ily turun dulu." Sebelum itu, Ily menyempatkan dirinya untuk menarik nafas dalam-dalam lalu ia mulai membuka pintu mobil.

"Bapak pergi dulu ya, Ly. Assalamualaikum," seru Liam seraya melambaikan tangannya.

"W-waalaikumsalam, Pak. Hati-hati di jalan," balas Ily pelan yang entah terdengar atau tidak oleh Liam.

Perlahan mobil yang dibawa Liam melaju meninggalkan gerbang sekolah. Ily menetralisir debar jantungnya lalu berjalan mendekati gerbang yang masih tertutup rapat.

"Pak, ada yang telat lagi." Sebuah seruan terdengar dari balik gerbang. Tak lama dari itu gerbang terbuka seiring dengan Ily yang cepat-cepat menunduk dalam.

ILYWhere stories live. Discover now