XVII. Carry On

15 0 0
                                    

Pada waktu istirahat siang, gue langsung ngabarin anak-anak tongkrongan dan juga beberapa aliansi lainnya buat ikut tawuran ngelawan anak-anaknya Kak Muldam. Gue langsung mampir ke kelasnya Fasta, Kaceng, IPA 1, dan sebagainya daripada harus nge-chat mereka satu persatu. Siapa tau banyak orang yang akhirnya jadi ikut-ikutan. Walaupun sebenernya gue tau kalo pilihan mereka buat ikut tawuran cuma bakal nambah-nambah korban berjatuhan.

"Lo serius anjrit?" kata Fasta. "Kak Muldam bakal nerima tantangan lo itu langsung? Jadi kita mesti tawuran, gitu?"

Gue mengangguk dengan yakin. "Lo harus gercep, ya, soalnya mereka mau ngeladenin kita sore ini juga."

"Oke, oke," timpal dia. "Tapi, kok lo bisa nantangin dia secepet ini?"

Gue mengangkat bahu.

Sebenernya, semua ini gak bakalan terjadi kalo gak ada peran Sulaiman. Dengan kecerdikannya itu, sekarang ini gue bisa aja ngeakhirin segala macam 'konspirasi' yang dibuat Kak Muldam. Momennya pas banget waktu dia dicegat sama anak buahnya langsung, tapi kasian juga mereka. Habisnya, gak ada yang suka dirinya dibanting daripada adu jotos sama lawan sampe memar-memar.

Soal Sulaiman tadi, gue rasa dia juga termasuk kalangan siswa overpower. Walaupun gue cuma berdua, tapi kita berhasil menang telak ngelawan tantangan anak-anak buahnya Kak Muldam waktu istirahat kedua. Gue sama Sulaiman adalah tipe petarung yang suka menjatuhkan lawan--secara harfiah--sampe mereka nggak bisa bangun lagi. Kita mungkin gak begitu jago kalo harus adu jotos sampe mampos, tapi ya cobalah berpikir pake otak sedikit. Kalo lawan nggak bisa mukul berarti kita udah menang telak, ya kan?

Setelah berita ini gue wartakan ke anak-anak yang lain, ternyata belom setengah jam kabar itu udah menyebar secara luas, khususnya angkatan gue. Gue lagi makan siang di kantin sama si Andre, sementara Rangga dan Angga (yang akhirnya memutuskan untuk melakukan jeda dari segala tontonannya itu) langsung membicarakan rumor kalo gue bakal tawuran itu.

"Nao, lo seriusan mau tawuran sama Kak Muldam sore ini?" tanya Angga sambil mendinginkan batagor kuah yang ia pesan.

Sejujurnya, gue agak nggak setuju dengan nomenklatur (penamaan, elah) "tawuran" dalam konteks sekarang ini. Tawuran biasanya selalu dikaitkan dengan perkelahian antar siswa yang beda sekolah. Sementara itu, saat ini gue justru lebih mirip sama perang. Yang bakal menang nanti bakal punya kekuatan yang lebih gede, otomatis punya kekuasaan di sekolah. Kedengerannya mungkin serius dan elit banget, tapi ketahuilah, gue dan mereka-mereka ini cuma bocah-bocah SMA yang nggak punya tontonan lain selain sinetron percintaan, Boyband & Girlband, dan juga talkshow komedi yang terlalu menghambur-hamburkan waktu.

"Iya," kata gue mantap. Gara-gara nasi ayam penyet pedas edan yang gue makan siang itu, gue jadi terlalu bersemangat.

"Kalo lo mau ngelawan Muldam, gue harus ikut," kata Angga. Semangat jiwa barbar preman sekolahannya mulai muncul. "Rangga, lu ikut kagak?"

"Iya, dong," jawab dia. "Gue gak mau kakak kelas kita bertindak semena-mena lagi kayak dulu."

"Makanya, kita harus tunjukkin kalo kita yang paling kuat," timpal gue.

Bukan cuma mereka, tapi kebanyakan anak-anak kelas gue juga tau soal ini. Mungkin nggak aneh kalo Shakila tau soal ini, tapi cewek-cewek yang lainnya juga. Gue sama sekali gak ngarepin mereka tau dan bakal ikut tawuran, tapi toh di tempat ini cewek kuat bukan cuma Kak Yuna doang. Bukan cuma cewek-cewek, bahkan Gamaliel dan Aurellio sekalipun kepingin gabung sama kita-kita.

"Lo harus tau betapa keselnya gue sama Kak Muldam," kata Gamaliel. Dia kalo ngomong emang kadang rada-rada baku dan puitis. Bahkan konotasi tegasnya pun nggak kalah sama suara ngebas partner homonya itu. "Kita gak boleh biarin dia terus-terusan nyerang anak-anak kelas 10 yang masih baru. Kita harus tunjukkin dia kalo kita juga bisa membalas perbuatannya itu."

I'm Studying in a School Full of FoolsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang