II. Kapan Terakhir Kali Kamu Bisa Makan Enak?

35 1 1
                                    


Halo, nama gue Rando, dan salah satu temen deket gue namanya Neva.

Mohon jangan disangka kalau "teman dekat dari SMP" berarti sama saja dengan pacar, nggak. Kalo kalian semua tau gimana Neva sebenernya, pasti gak ada yang bernyali buat jadi pacar dia (ya, dan tanpa gue sadari, kalimat barusan mempertegas hubungan "lebih dari teman" gue sama Neva).

Tapi intinya, terserah kalian sajalah mau nyebut hubungan kita ini kayak gimana. Kalau dirasa penting silahkan diperdebatkan, tapi jangan bawa-bawa saya!

Tinggi tubuh Neva berkisaran 160 cm, dan dia tipikal cewek imut tapi amit-amit. Imutnya karena dia memang beneran imut, matanya nggak sipit dan nggak melotot juga, plus rambutnya pendek. Dia suka model rambut konde dengan tusukannya (nggak tau apa sebutannya), tapi sekarang ini rambutnya sedang terurai jelas. Biar lebih detil ngebayanginnya, coba bayangin Momo Twice tanpa operasi plastik (dengan deskripsi yang telah disebutkan sebelumnya).

Hal menurut gue yang amit-amit dirinya cuma dua hal. Pertama, dia terlalu rajin. Untuk membuat janji atau ngajak dia makan di luar adalah pekerjaan yang menjengkelkan.

"Nev, lo mau makan bareng di pujas deket sekolahan gak?"

"Tunggu, gue ada rapat sama anak OSIS habis sekolah, habis itu mau main basket bentaran sama anak-anak. Paling abis maghrib, sehabis gue mandi sama makan malem di rumah. Emang lo ada perlu apa sama gue? PR buat besok lumayan banyak, tau."

Gue ngajak lu buat makan siang doang, dodol.

Dan yang kedua, suara dia cempreng. Gagal sudah impian kita-kita dulu buat ngedapetin imitasi Momo Twice. Tapi paling nggak, anaknya nggak begitu suka lagu atau karaokean.

Selama gue dan Neva berjalan mencari-cari kantin di sekolah ini (betul, mencari-cari), gue sadar kalo selama ini Neva nggak pernah jadi pusat perhatian. Maksud gue, dia cukup cute, lho! Apa mungkin gara-gara dia lagi jalan bareng sama gue?

"Nev, sebenernya lu pernah jadi pusat perhatian gitu nggak sih?"

"Maksud lo?"

"Dari SMP, ya, seharusnya ada kali satu atau dua orang yang tertarik sama lu. Tapi, selama ini gue nggak pernah tuh denger kalo lu lagi dideketin."

"Ya, gimana, sih. Gue kan sering maen bareng lo, makanya orang-orang mikir kita ini punya hubungan khusus, gitu!"

Gue diem. Ya, emang rasanya nilai 38.15 nggak cocok buat otak gue yang kayak gini.

"Tapi lo bener-bener cuma nganggep hubungan kita sebatas temen aja, ya kan," kata gue.

"Iyalah, lagian ngapain sih pacaran? Buang-buang waktu gue aja."

Sesungguhnya, Neva ditakdirkan menjadi eksekutif perusahaan multinasional, bergelimang harta, dan nggak bakal punya waktu cuma untuk makan selain di kafetaria kantor perusahaannya. Kelak nanti.

Gue sama Neva udah uring-uringan di dalem sekolah hampir 10 menit (Neva yang ngasih tau), tapi kita belum nemuin satu tempat pun yang layak disebut "kantin". SMA ini ternyata luas banget, dan gedung-gedung bertingkat dua terletak secara menyebar. Jadi, mana mungkin kalo kita bakal sampe ke kantin kalo daya pandang kita aja kehalangan banyak bangunan kayak gini.

Akhirnya Neva memutuskan untuk mencari seseorang yang dapat ditanyai. Karena masih baru dan agak minder kalo bicara sama kakak kelas—kecuali kakak pembimbing—Neva pun bertanya kepada Bu Desy yang kebetulan lewat. Oke, sekarang gue ngerti pola pikir lu, Nev. Kakak kelas mungkin berbahaya, tapi ini?!

"Kantin ada di dekat lapangan buat lari, dari sini lurus aja terus belok kiri," jawab Bu Desy.

"Oh, iya, makasih, Bu!"

I'm Studying in a School Full of FoolsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang